Tentang balutan cahaya yang dibuat cenderung berbeda dari kenyataan biasanya. Dan durasinya yang hanya berlangsung dua hingga tiga jam. Seolah hidup seseorang bsa dirangkum dalam waktu sesingkat itu. Akhir-akhir ini film semakin bagus, semakin mudah terjangkau untuk segala kalangan, dari segala genre, drama hingga yang paling aneh pun ada.
Saya benci film, karena betapa inspirasionalnya mereka, begitu mudahnya mereka membakar semangat atau emosi saya dalam sesaat, dan menghipnotis saya seolah hidup akan begitu bermakna suatu hari, akan ada perubahan dalam semalam, atau setidaknya dalam lima belas menit dalam tiga jam yang menjadikan dunia pemeran tersebut berubah, dan tiba-tiba dunia berada di sisi mereka.
Mungkin bukan film, saya benci suatu cerita yang diceritakan orang lain, seperti kisah inspirasional pendiri sosial media, aplikasi, brand clothing, atau hal keren lainnya. Karena cerita tersebut terkesan parsial, setengah, dan lebih banyak yang tidak saya dengar.
Mungkin juga bukan cerita. Saya benci tentang kebanyakan orang yang mengidolakan orang-orang tersebut sehingga semua media menyorot tentang orang-orang yang terkesan hebat tersebut, mampu menciptakan begitu banyaknya uang dalam sekejap di usia muda. Mengapa mereka tidak menceritakan tentang tukang parkir di stasiun kereta saya yang setiap hari selalu tersenyum, dan saya bisa percayakan saat saya menitipkan kunci mobil saya?
Tentang bagaimana mereka bisa dipercaya, dan tidak mencari jalan singkat untuk mengejar kekayaan sesaat.
Mengapa kita selalu ingin mendengar satu banding satu milyar. Tentang orang-orang yang sangat hebat, yang jelas-jelas tidak memiliki korelasi secara strata sosial, keberuntungan, ataupun finansial. Mengapa kita tidak mengangkat sesuatu yang sifatnya moralis, akademis, tentang betapa pentingnya untuk memiliki nilai ketika semua orang menghantam apapun demi sekedar reputasi konyolnya.
Mungkin saatnya kita belajar untuk mencintai sesuatu yang biasa-biasa saja. Karena dunia saat ini sedang gembor-gembornya menyebarkan sesuatu yang heboh, bombastis, dalam sekejap orang bisa dengan sabarnya mengantri tempat makan yang mewah ataupun unik, handphone baru, film baru.
Ah mungkin saya benci konsumerisme, tentang bagaimana orang berbondong-bondong setiap harinya didorong untuk belanja-belanja, dan mendapatkan uang lebih banyak lagi, agar ekonomi bisa tumbuh, agar manusia bisa menggerakkan roda ekonomi.
Ah mungkin saya sedang membenci diri saya sendiri. Namun saya mau menulis yang lebih manusiawi saja, tentang resah, gundah, tentang begitu banyak yang tidak bisa dikendalikan, dan begitu sedikit yang bisa dikendalikan, dan di antaranya begitu banyak hal yang kita perhatikan, dan begitu banyak juga hal yang tak sengaja terlewatkan, kita bagai semut di tengah pasar malam, bergantian melihat sesuatu yang terang, kadang gelap, namun yang pasti, karena si semut merasa sepi, di tengah ramainya malam, ia mulai membenci sekitarnya.
Lagipula ini Maret.
Saya benci film, karena betapa inspirasionalnya mereka, begitu mudahnya mereka membakar semangat atau emosi saya dalam sesaat, dan menghipnotis saya seolah hidup akan begitu bermakna suatu hari, akan ada perubahan dalam semalam, atau setidaknya dalam lima belas menit dalam tiga jam yang menjadikan dunia pemeran tersebut berubah, dan tiba-tiba dunia berada di sisi mereka.
Mungkin bukan film, saya benci suatu cerita yang diceritakan orang lain, seperti kisah inspirasional pendiri sosial media, aplikasi, brand clothing, atau hal keren lainnya. Karena cerita tersebut terkesan parsial, setengah, dan lebih banyak yang tidak saya dengar.
Mungkin juga bukan cerita. Saya benci tentang kebanyakan orang yang mengidolakan orang-orang tersebut sehingga semua media menyorot tentang orang-orang yang terkesan hebat tersebut, mampu menciptakan begitu banyaknya uang dalam sekejap di usia muda. Mengapa mereka tidak menceritakan tentang tukang parkir di stasiun kereta saya yang setiap hari selalu tersenyum, dan saya bisa percayakan saat saya menitipkan kunci mobil saya?
Tentang bagaimana mereka bisa dipercaya, dan tidak mencari jalan singkat untuk mengejar kekayaan sesaat.
Mengapa kita selalu ingin mendengar satu banding satu milyar. Tentang orang-orang yang sangat hebat, yang jelas-jelas tidak memiliki korelasi secara strata sosial, keberuntungan, ataupun finansial. Mengapa kita tidak mengangkat sesuatu yang sifatnya moralis, akademis, tentang betapa pentingnya untuk memiliki nilai ketika semua orang menghantam apapun demi sekedar reputasi konyolnya.
Mungkin saatnya kita belajar untuk mencintai sesuatu yang biasa-biasa saja. Karena dunia saat ini sedang gembor-gembornya menyebarkan sesuatu yang heboh, bombastis, dalam sekejap orang bisa dengan sabarnya mengantri tempat makan yang mewah ataupun unik, handphone baru, film baru.
Ah mungkin saya benci konsumerisme, tentang bagaimana orang berbondong-bondong setiap harinya didorong untuk belanja-belanja, dan mendapatkan uang lebih banyak lagi, agar ekonomi bisa tumbuh, agar manusia bisa menggerakkan roda ekonomi.
Ah mungkin saya sedang membenci diri saya sendiri. Namun saya mau menulis yang lebih manusiawi saja, tentang resah, gundah, tentang begitu banyak yang tidak bisa dikendalikan, dan begitu sedikit yang bisa dikendalikan, dan di antaranya begitu banyak hal yang kita perhatikan, dan begitu banyak juga hal yang tak sengaja terlewatkan, kita bagai semut di tengah pasar malam, bergantian melihat sesuatu yang terang, kadang gelap, namun yang pasti, karena si semut merasa sepi, di tengah ramainya malam, ia mulai membenci sekitarnya.
Lagipula ini Maret.
No comments:
Post a Comment