Ada beberapa hal yang kita harus mengerti, tentang pelajaran yang pernah disampaikan sejak TK hingga lulus kuliah misalnya, atau tentang mengapa kita harus berperilaku baik ke orang lain maupun diri sendiri tanpa pamrih, dan mungkin ada ribuan pasal lainnya. Namun ada satu pasal yang harus juga kita pahami bahwa, kita tidak akan mampu untuk mengerti semua hal, karena sebenarnya mungkin tugas kita hanya untuk menjalankan dan percaya.
Beberapa cerita tentang anak yang menjadi korban perkosaan misalnya, mau dilihat dari sudut pandang manapun, kita tidak akan habis pikir dari mana sisi logisnya jika ditarik garis panjang lima puluh tahun ke belakang, dan lima puluh ke depan, dosa apa yang pernah anak itu lakukan hingga harus mengalami hal sekeji itu. Dan jika kita teruskan untuk merenungkan, kita akan sampai dengan dua jawaban, antara semesta memang sekeji itu atau kita perlahan harus mengakui masih banyak yang kita belum mengerti, dan tidak akan pernah mengerti.
Beberapa orang mungkin akan merasakan hal yang senada dengan saya, karena selama ini kita dididik dari kecil dengan ilmu sebab akibat, setiap fenomena bisa dijelaskan dengan kalimat ataupun angka. Namun sebaliknya, seiring kita dewasa kita dihadapkan dengan situasi-situasi yang benar-benar di luar kendali kita, seperti perceraian, perselingkuhan, kekerasan terhadap anak, orang tua yang abusive, bullying, orang tua sakit parah, ketidakpastian hidup, kecelakaan, dan segala bentuk penderitaan kolosal lainnya.
Lalu kita setiap harinya berdoa agar kita bisa sedikit lebih beruntung dari mereka yang pernah kita lihat, dengan hati yang tertunduk, tanpa mengucap serapah, kita mengakui betapa besarnya Ia yang menciptakan, dan betapa tidak signifikannya kita di dalam alam semesta ini, namun dalam rendahnya hati kita yang menyentuh bumi tanah tersebut, kita menanam harapan kecil, bahwa mungkin dalam kasihNya kita berhak untuk berbahagia di sini dan di alam lainnya, dan dalam harapan tersebut kita akan terus berusaha dengan menundukkan hati kita.
Karena segala ketidakbahagiaan berasal dari hati yang mendongak, berpikir bahwa kita mengetahui apa yang kita perbuat, dan kita memiliki hak atas apa yang kita tanam. Lalu apa kita ini makhluk yang harus sekedar sabar leyeh-leyeh di pinggir jalan sambil meminta melulu? Dan yang terus berusaha menyusun dirinya, sambil menundukkan hatinya, akan ditinggikan derajatnya, jika bukan sekarang, di alam yang nanti.
Untuk saya sendiri yang sedang frustrasi, untuk orang lain yang sedang dihadapkan dengan cobaan-cobaan. Sudahi berpikirmu yang sudah berbulan-bulan berujung kalimat yang sama, mulailah dengan mengisi apa yang bisa diisi, membersihkan apa yang bisa dibersihkan, dan berdoa bahwa mungkin esok akan ada cerita-cerita baik lainnya.
Selamat tahun baru.
Beberapa cerita tentang anak yang menjadi korban perkosaan misalnya, mau dilihat dari sudut pandang manapun, kita tidak akan habis pikir dari mana sisi logisnya jika ditarik garis panjang lima puluh tahun ke belakang, dan lima puluh ke depan, dosa apa yang pernah anak itu lakukan hingga harus mengalami hal sekeji itu. Dan jika kita teruskan untuk merenungkan, kita akan sampai dengan dua jawaban, antara semesta memang sekeji itu atau kita perlahan harus mengakui masih banyak yang kita belum mengerti, dan tidak akan pernah mengerti.
Beberapa orang mungkin akan merasakan hal yang senada dengan saya, karena selama ini kita dididik dari kecil dengan ilmu sebab akibat, setiap fenomena bisa dijelaskan dengan kalimat ataupun angka. Namun sebaliknya, seiring kita dewasa kita dihadapkan dengan situasi-situasi yang benar-benar di luar kendali kita, seperti perceraian, perselingkuhan, kekerasan terhadap anak, orang tua yang abusive, bullying, orang tua sakit parah, ketidakpastian hidup, kecelakaan, dan segala bentuk penderitaan kolosal lainnya.
Lalu kita setiap harinya berdoa agar kita bisa sedikit lebih beruntung dari mereka yang pernah kita lihat, dengan hati yang tertunduk, tanpa mengucap serapah, kita mengakui betapa besarnya Ia yang menciptakan, dan betapa tidak signifikannya kita di dalam alam semesta ini, namun dalam rendahnya hati kita yang menyentuh bumi tanah tersebut, kita menanam harapan kecil, bahwa mungkin dalam kasihNya kita berhak untuk berbahagia di sini dan di alam lainnya, dan dalam harapan tersebut kita akan terus berusaha dengan menundukkan hati kita.
Karena segala ketidakbahagiaan berasal dari hati yang mendongak, berpikir bahwa kita mengetahui apa yang kita perbuat, dan kita memiliki hak atas apa yang kita tanam. Lalu apa kita ini makhluk yang harus sekedar sabar leyeh-leyeh di pinggir jalan sambil meminta melulu? Dan yang terus berusaha menyusun dirinya, sambil menundukkan hatinya, akan ditinggikan derajatnya, jika bukan sekarang, di alam yang nanti.
Untuk saya sendiri yang sedang frustrasi, untuk orang lain yang sedang dihadapkan dengan cobaan-cobaan. Sudahi berpikirmu yang sudah berbulan-bulan berujung kalimat yang sama, mulailah dengan mengisi apa yang bisa diisi, membersihkan apa yang bisa dibersihkan, dan berdoa bahwa mungkin esok akan ada cerita-cerita baik lainnya.
Selamat tahun baru.
No comments:
Post a Comment