Pada dasarnya, dunia benci mereka yang tidak bisa bersyukur dan menjaga apa yang telah menjadi miliknya.
Sebut saja raja yang memperlakukan ratunya secara semena-mena hingga ratunya pergi. Sebut saja ketika kita telah memberikan seseorang sebagian dari harta kita untuk bekerja, namun malah kerja secara uring-uringan. AzabKu pedih kata Tuhan, jikalau kau telah diberikan lebih, diberikan kesempatan, namun kau sia-siakan.
Sebut saja ini cerita tentang itu, tentang saya yang akhirnya pergi.
Saya adalah bagian dari diri saya sendiri, sebut saja sebenarnya ada beberapa unsur yang harus ada di dalam manusia. Saya adalah unsur tersebut, yang saya sebut Berkah, dan anggap saja tubuh yang saya tunggangi saat ini bernama Afif. Afif sehat, normal seperti manusia kebanyakan. Namun Afif selalu menempatkan dirinya di dalam bilik-bilik sepi, di mana Afif biasa bersandar untuk berpikir sebentar. Sebenarnya setiap Afif bersandar sebentar selalu ada pilihan. Pilihan untuk bersyukur, pilihan untuk mengeluh. Hanya ada dua yang mengiringi hari-hari Afif ini.
Di antara dua, akan ada saya Berkah, dan teman saya Gundah.
Seperti pembaca mungkin akan berakhir seperti apa. Saya sudah menanti berhari-hari untuk mendengar puja tentang harinya, tentang betapa indahnya nyanyian merdu malam, tentang senyapnya jalanan, tentang indahnya misteri ketidak pastian, tentang rejeki yang terus mengalir, tentang nikmat yang hanya perlu disebut sesekali agar setidaknya saya dapat bertahan hidup di tubuh ini. Atau tidak saya akan terus menyusut dan kalau saya merasa terancam, saya akan pergi seketika.
Namun saya juga heran apa yang membuat Afif begitu mempersulit hidupnya yang sebenarnya biasa saja dibandingkan dengan orang kebanyakan. Memang sih Afif terlahir begitu cerdas dan teman-temannya sudah sukses di mana-mana. Namun sampai ia tua kini, nampaknya ini waktunya saya pergi.
Ketika bangun pagi Afif hanya menyumpah tentang betapa dirinya ingin tidak terbangun untuk selamanya. Ketika Afif terjebak di kemacetan, ia akan menghina semua yang berada di sekitarnya, dan saya bisa terus bercerita tentang Afif, tentang ia terus mempersulit hidupnya ketika sebenarnya yang ia butuhkan hanyalah perspektif baru.
Tentang mereka yang kecil dan terus mengalir, tidak harus besar dan mengejutkan. Namun jika saja Afif tahu betapa pentingnya untuk mensyukuri hal-hal kecil yang remeh tersebut, Gundah yang sebenarnya saya tidak suka-suka amat, pun bisa saya singkirkan. Toh badan Afif sudah terlalu sempit untuk satu unsur di dalamnya.
Namun saya harus pergi, tanpa kembali.
Dan membiarkan Afif merusak hidupnya, berkali-kali.
Sebut saja raja yang memperlakukan ratunya secara semena-mena hingga ratunya pergi. Sebut saja ketika kita telah memberikan seseorang sebagian dari harta kita untuk bekerja, namun malah kerja secara uring-uringan. AzabKu pedih kata Tuhan, jikalau kau telah diberikan lebih, diberikan kesempatan, namun kau sia-siakan.
Sebut saja ini cerita tentang itu, tentang saya yang akhirnya pergi.
Saya adalah bagian dari diri saya sendiri, sebut saja sebenarnya ada beberapa unsur yang harus ada di dalam manusia. Saya adalah unsur tersebut, yang saya sebut Berkah, dan anggap saja tubuh yang saya tunggangi saat ini bernama Afif. Afif sehat, normal seperti manusia kebanyakan. Namun Afif selalu menempatkan dirinya di dalam bilik-bilik sepi, di mana Afif biasa bersandar untuk berpikir sebentar. Sebenarnya setiap Afif bersandar sebentar selalu ada pilihan. Pilihan untuk bersyukur, pilihan untuk mengeluh. Hanya ada dua yang mengiringi hari-hari Afif ini.
Di antara dua, akan ada saya Berkah, dan teman saya Gundah.
Seperti pembaca mungkin akan berakhir seperti apa. Saya sudah menanti berhari-hari untuk mendengar puja tentang harinya, tentang betapa indahnya nyanyian merdu malam, tentang senyapnya jalanan, tentang indahnya misteri ketidak pastian, tentang rejeki yang terus mengalir, tentang nikmat yang hanya perlu disebut sesekali agar setidaknya saya dapat bertahan hidup di tubuh ini. Atau tidak saya akan terus menyusut dan kalau saya merasa terancam, saya akan pergi seketika.
Namun saya juga heran apa yang membuat Afif begitu mempersulit hidupnya yang sebenarnya biasa saja dibandingkan dengan orang kebanyakan. Memang sih Afif terlahir begitu cerdas dan teman-temannya sudah sukses di mana-mana. Namun sampai ia tua kini, nampaknya ini waktunya saya pergi.
Ketika bangun pagi Afif hanya menyumpah tentang betapa dirinya ingin tidak terbangun untuk selamanya. Ketika Afif terjebak di kemacetan, ia akan menghina semua yang berada di sekitarnya, dan saya bisa terus bercerita tentang Afif, tentang ia terus mempersulit hidupnya ketika sebenarnya yang ia butuhkan hanyalah perspektif baru.
Tentang mereka yang kecil dan terus mengalir, tidak harus besar dan mengejutkan. Namun jika saja Afif tahu betapa pentingnya untuk mensyukuri hal-hal kecil yang remeh tersebut, Gundah yang sebenarnya saya tidak suka-suka amat, pun bisa saya singkirkan. Toh badan Afif sudah terlalu sempit untuk satu unsur di dalamnya.
Namun saya harus pergi, tanpa kembali.
Dan membiarkan Afif merusak hidupnya, berkali-kali.
No comments:
Post a Comment