Monday, November 16, 2015

Tomas Radaya

Ketika tiang listrik dan kabelnya seolah menari naik turun, menyapa, saat ia memandang ke jendela mobil. Sudah dua puluh tahun sejak itu, semakin tua, namun yang dilakukan tetap sama, menyendiri memandang hal-hal yang orang lain tidak pernah perhatikan. Eksentrik; Hobinya sih kerja, tapi uangnya tidak tahu habis kemana. Lemarinya selalu penuh dengan arloji warna warni yang memiliki tutup tokoh kartun di depannya, jika dibuka akan tampak jam digital di dalamnya.

Saya kakaknya, Nuril Radaya. Dari kecil saya tumbuh bersama adik saya yang lucu ini, walaupun sekarang sudah dua puluh lima, tapi ia masih begitu adanya. Saya kebetulan sudah menikah, istri saya sedang mengandung tiga bulan. Karena ayah kami baru meninggal sekitar seminggu lalu. Saya jadi sering menginap di rumah mendiang orang tua saya, ibu saya yang masih sehat, ditemani bersama Tomas.

Tomas ini cerdas, karena keturunan dari ayahnya sendiri sih. Ayah saya merupakan lulusan aeronotika di ITB dulu, dari kecil beasiswa, dapat program magister dan doktornya pun beasiswa di Amerika Serikat sana. Ibu saya lulusan kedokteran, katanya sih mereka pertama kali ketemu waktu cek paru-paru pertama kali. Karena ayah saya perokok berat dulunya, sejak bertemu ibu saya, langsung dipaksa berhenti. Dari situ katanya malah jadi benih pertemanan hingga ke pelaminan.

"Ril, si Astari gak kamu ajak? Kamu nyelonong aja ninggalin istri kamu di rumah begitu, nanti kalo dia ditaksir sama lurah sebelah gimana?" Ibu saya mampir membawakan martabak telor.

"Iya nanti Astari mampir, tadi pagi dia jenguk temennya, baru lahiran juga. Sekalian lah ketemu temen, ketemu aku terus nanti bentuk muka anak aku begitu-begitu aja lagi." Saya membalas.

"Hus. Ngomongnya. Kebiasaan deh gak lucu." Ibu menepuk pundakku.

Saya lulus tahun 2008, Tomas lulus sekitar 2010. Dua-duanya gak ada yang antusias untuk masuk jurusan teknik ataupun kedokteran. Malah tertarik untuk masuk IT. Ketika saya lulus, saya langsung masuk kerja di multinational company sih, dapat training dua tahun di Singapura. Adik saya yang IPnya tembus 3.9 malah masuk entry level di perusahaan developer mobile software lokal. Tapi karena emang dasarnya otaknya pinter sih, sekarang dia masuk ke multinational company juga untuk jadi program analyst. 

Saya selalu iri sih dengan cara Tomas berpakaian, menjalani hidup, mengambil keputusan. Kemejanya selalu disetrika rapih, warnanya hanya ada biru muda dan abu-abu, celananya selalu warna cokelat terang dan gelap. Ia selalu bangun pagi jam 5 untuk membantu membuatkan ibunya sarapan, dan pulang sebelum jam 8 karena ia selalu download film serial kesukaannya sebelum tidur. Dia juga sudah menabung untuk program magisternya di Belanda nanti, walaupun sudah 80 persen dia akan dapat beasiswa.

"Tom, makan mie ayam jamur di Tebet yuk. Sekalian aku jemput Astari di situ, siapa tau ketemu Anin di situ."

"Heh, jangan ngomong aneh-aneh deh. Ngajak, ngajak aja. Bentar ya, matiin AC bentar." Tomas bergegas mengambil jaketnya.

"Tom, kamu kapan belajar nyetir deh. Mau sampe kapan naik angkot kopaja terus. Orang tabungan udah kayak gaji pemain bola liga spanyol gitu." Aku sambil menyalakan mobil, dan menunggu mobil panas.

"Iya liga spanyol divisi tiga." Tomas membalas bercanda. Tomas mungkin tidak dikaruniai selera humor yang baik, setelah segala bakatnya berada di dia.

Akhirnya dari rumah, saya dan Tomas berangkat ke daerah Tebet. Sudah agak malam waktu itu, sekitar pukul 10 malam, tapi rasanya hari masih panjang. Karena beberapa hari ini saya tidak masuk ke kantor, sekedar balas email dari handphone ataupun per panggilan telepon.

"Ril, kayaknya Ibu masih sedih banget deh kehilangan Ayah. Semalem aku jam satu pagi gitu kedengeran ada orang ngambil minum sambil nahan nangis gitu." Tomas celetuk serius.

"Ya namanya juga suami istri Tom. Apalagi Ibu dapetnya yang sebaik Ayah kayak gitu. Kerjaannya bawain makanan melulu ke rumah, segala bunga lah dibawa udah kayak jaman pacaran, kadang beli mesin cuci, mesin penyedot debu. Konyolnya lagi, itu dibungkus pake kertas kado gambar-gambar gitu kan? Bapak kamu tuh, kelakuan, masih genit aja sama istri sendiri."

"Iya sih. Tapi aku jadi takut berkeluarga jadinya Ril, gak enak aja gitu ninggalin Ibu. Dulu Ibu ada yang nemenin tiap hari ketawa aja kerjaannya sama ayah di dapur. Sekarang aku mau pergi malem minggu aja jadi gak enak." Tiba-tiba nada Tomas berubah sendu.

"Yah Tom. Kalo Ibu denger kamu ngomong begini, yang ada malah makin nangis dia. Ya udah lah, kamu mah dari dulu sensitif amat sama orang lain. Kalo sama orang-orang terdeket kamu mah, kamu lakuin aja yang bikin kamu bahagia gitu, karena emang kita-kita nih, Ayah, Ibu, tuh dari dulu ya pingin kamu seneng. Kamu udah bertanggung jawab segini jauh, kalo kamu mau nyenengin aku, Ibu terus ya gak ada habisnya."

"Ayah udah pergi, suatu hari Ibu pergi, aku juga pergi. Kalaupun aku nanti pergi, aku pingin ngeliat kamu bahagia, berusaha sama sisa hidup kamu, nanti aku pantau di alam sana, di surga, ataupun di neraka haha. Makanya jangan ngunci kamar terus malem-malem, nanti diliatin dari sana hahahaha."

"Ya kali Ril, gak gitu juga. Iya sih, ada benernya."

Dari kecil Tomas memang agak lucu sih, kalau lagi nonton bola, misalnya Belanda lawan Korea Selatan, dia bakal terang-terangan bela Korea Selatan, karena dia orangnya gak tegaan kalau ada underdog gitu. Kalau nonton acara wild world yang cheetah kejar-kejaran sama kerbau saja dia bisa nangis, padahal sudah SMP waktu itu.

Jujur saya agak kasihan ketika Tomas sewaktu SMA harus kenal dengan Anin ini. Dari dulu Anin memang agak suka ngelawan orangnya, pingin tampil beda. Tomas yang cupu gitu entah kenapa malah kepincut sama yang seperti itu. Mereka sempat bersama sekitar 1 tahun, sampai akhirnya putus karena Anin selingkuh. Tomas bukannya marah atau apa, malah bilang ke selingkuhannya untuk jagain Anin.

Kayaknya itu terakhir saya mendengar cerita cinta soal Tomas, sejak itu ia tidak pernah cerita banyak soal pasangannya. Kata Ibu sih kemarin ia kepergok ketemu di mall sama wanita rambut pendek. Ya saya hanya bisa mendoakan sih.

"Sayang, aku udah di depan rumah temen kamu nih. Masuk sekalian apa udah kemaleman? Kalo bisa aku ga usah masuk deh, ada Tomas nih, kita makan mie ayam jamur di Tebet situ yuk."

Akhirnya Astari keluar dari rumah temannya dan bergegas masuk ke mobil, tiba-tiba mulai gerimis.

"Tom, kamu dibully apa lagi sama si papa Nuril? Kalo ada apa-apa bilang aku ya, biar aku patahin lehernya." Istri saya memang lain kalau menyapa.

Sambil berkendara pelan, di tengah rintik hujan, Tomas pindah ke kursi belakang. Istri saya sambil mengelus perutnya yang sudah bulat, Tomas masih melihat tarian tiang listrik yang sama. Saya selalu merasa Ayah dan Ibu mendoakan kami. Tiba-tiba melihat betapa jauh saya melangkah dari saya yang dulu sampai saya yang bisa menjadi figur bagi adik saya yang saya banggakan, mata saya berair. Dan ketika menoleh ke kiri, senyumnya masih sama, dan akan saya jaga.

No comments:

Post a Comment