Friday, October 23, 2015

Membahagiakan Diri Sendiri

Jika saya tarik lurus garis ke belakang, dari kecil entah apakah itu bawaan lahir atau cara didik orang tua yang mempengaruhi kepribadian saya, saya dari kecil selalu keras dengan diri saya sendiri.

Saya masih ingat dengan jelas saya menangis di tengah kelas sewaktu taman kanak-kanak karena tidak bisa menggambar bintang, saya membandingkan diri saya dengan teman-teman saya yang terlihat serius sedang menggambar, semua terlihat bisa, saya panik dan mulai menangis.

Ketika mulai sekolah dasar, saya selalu membanding-bandingkan diri saya dengan orang lain, menunggu dipuji orang lain, menunggu orang lain menerima saya dengan segala kekurangan saya. Namun saya terlalu berusaha menyenangkan semua orang, kadang saya ingat betapa saya terlihat aneh dan tidak normal di seusia saya. Saya murung, terus berpikir dan tidak pernah merasa seumur dengan teman-teman saya.

Dan terus begitu.

Saya merasa saya harus selalu terdepan di antara yang lain. Karena hanya dengan cara itu saya bisa dipandang, dihargai. Saya bertingkah berbeda-beda ke tiap jenis orang, karena hanya dengan itu saya bisa disukai banyak orang. Saya belajar agar semua orang akan bahagia jika saya bisa berhasil lulus dengan nilai yang baik. Saya akan bahagia jika orang lain menerima saya, saya akan bahagia jika orang lain memuji saya, saya akan bahagia jika orang lain mengenal dan menghargai keberadaan saya.

Saya mulai menyadari ini ketika saya bersama dengan pacar saya sewaktu itu. Ia mulai menyadari bahwa saya tidak memiliki kepercayaan diri, walaupun di luar saya terlihat paling benderang, dan mempertanyakan kenapa, kenapa, dan kenapa. Saya pun seperti dibenturkan ke tembok. Konyolnya, karena saking dekatnya, saya menjadikan ia sewaktu itu sebagai satu-satunya orang yang harus saya bahagiakan.

Ketika kita sedang jauh di negara yang berbeda, dan ia murung, mengalami sedih yang berlarut. Saya yang biasanya membuat ia senang, merasa gagal, terus mempertanyakan kenapa ia sedih, murung. Dan ketika ia tidak bisa menjawab sama sekali. Saya merasa tidak bisa bahagia lagi. Karena saya merasa keberadaan saya tidak dihargai.

Padahal semua orang akan sedih. Membuatnya terus bahagia, adalah ide bodoh.

Saya tahu semua orang memiliki kecenderungan yang berbeda-beda, penyakit karakter yang berbeda-beda.

Saya harus berdamai dengan diri saya sendiri. Dan mulai memiliki alasan yang lebih dalam untuk melakukan hal di hidup saya. Saya tidak bekerja di multinational company hanya untuk menyenangkan orang lain. Karena saya tahu betapa inginnya saya untuk dipuji, disanjung, dipuja dengan "lain ya memang kamu, gak seperti yang lain nih".

Ketika di dunia kerja, semuanya sudah abstrak. Tidak ada lagi penilaian. Checkpoint untuk GPA sudah tidak ada. Orang tua hanya ingin melihat saya menikah dan beranak begitu banyak hingga membuat kesebelasan sepak bola. Saya yang terbiasa diberikan pujian, pujian, pujian. Kehilangan sumber pujian tersebut.

Saya ingin diterima orang lain, padahal yang pertama kali harus menerima saya ya saya sendiri, kali ini biarkan saya memuji diri saya sendiri terlebih dahulu.

"Ran, your life doesn't suck that much. You did a good job already, even if you fail, you'll die anyway. So you're okay, and just be the way you are, don't try to please everyone any longer. It's okay if you break up, you have a divorce, you don't make it to top 10 richest people in forbes. Just make sure you're still you, the guy that always want to sit down selling croissant at 10 AM in the morning in your own bakery store."

Mulai hari ini, saya mau melakukan hal-hal di dunia ini, untuk saya sendiri terlebih dahulu. Saya juga tidak mau merencanakan hidup saya terlalu banyak mulai hari ini. Saya sudah terlalu lama murung. Mudah-mudahan saya bisa menerima diri saya dengan lebih baik.

No comments:

Post a Comment