Thursday, May 14, 2015

Paragraf Kota

"Lembar demi lembar."

Seorang kakek membalik foto album yang kemarin ia tidak sengaja temukan di kamar mendiang istrinya meninggal beberapa bulan lalu. Tidak ada rasa perih lagi di dadanya kali ini, kenangan dengan istrinya menyambutnya memeluknya dengan erat.

"Lembur demi lembur."

Malam, sekitar jam sebelas, aku masih sedikit pusing karena efek bekerja dari pukul tujuh tanpa berhenti. Aku begitu terjerat, terikat hingga aku lupa untuk apa aku di sini. Di sampingku hanya ada speaker kecil menyuarakan lagu-lagu metal dengan harapan membakar semangat yang terpendam.

"Malam dan malam."

Tiang-tiang lampu berjejer berbaris tegak memancarkan sinarnya, bergantian menyapa, kadang wanita ini terheran ketika begitu banyak kejutan yang membahagiakan telah ia lewati, namun tetap tidak bisa semenenangkan ini, seperti ketika ia bersandar di pundak pria ini di tengah kencangnya perjalanan, seolah ia hanya diperbolehkan hidup satu jam, dan ia begitu berterimakasih atas satu jam tersebut. Begitu bahagia, ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya dari bibirnya.

"Kelam kian kelam."

Kemeja, celana bahan, sabuk kulit imitasi, sepatu imitasi, kaos kaki yang tidak sama satu dengan lainnya. Anak muda itu bertingkah kebingungan di tengah keramaian, berjalan terus berjalan, mencoba menjadi dirinya, berharap tiada yang menyadari kaos kakinya yang berbeda, sebelum ia menyadari tidak pernah ada yang peduli. Dalam hanyut kelam yang ia selami, ia berdoa, dan itu lebih dari cukup.

"Terang benderang."

Jika ada suatu orang yang ingin kutemui ketika aku menjadi manusia terakhir di bumi ini, seharusnya engkau. Ia berpuisi di tengah kebisingan, orang menari-nari meneguk ramuan lupa, ia bertanya pada peracik, mengapa ramuan ini tidak ampuh. Esok semua pergi kecuali perasaannya.

No comments:

Post a Comment