Monday, May 25, 2015

Deras Sekali Ya

Hai. Saya pria yang sama di dalam kereta.

Mungkin situ juga pernah bahkan sering bertanya betapa derasnya arus manusia di dalam moda transportasi ini. Saya juga sering menatapi sepatu-sepatu orang, meratapi kesempitan, sambil mendengarkan lagu favorit. Lalu apa?

Ya mungkin kita bertanya hal-hal yang sama, tentang bagaimana kita membiarkan hari-hari kita dimakan oleh rasa khawatir ataupun pikiran-pikiran yang membuat kita hidup entah di mana. Dalam kebengongan yang permanen, sudah sekitar tiga bulan mungkin, semua saya biarkan sekedar terjadi, seolah lepas kendali, membiarkan dunia membimbing dengan derasnya waktu.

Dengan melihat situs-situs sosial, membuat saya kadang bingung. Bingung menempatkan diri saya, karena begitu banyak jenis teman saya, ada yang begitu sederhana, sekedar jalan-jalan ke Bandung sudah begitu membahagiakan, ataupun jenis teman saya yang lainnya, ke benua atau menikmati pemandangan dari gedung-gedung pencakar langit dari berbagai ibukota.

Hingga saya mengantungi handphone saya, lalu melihat pria buta dengan tongkat dan boombox kecil di pinggang kirinya, terduduk menghadap depan. Saya berandai-andai, jika ia dibukakan matanya, mungkin belum tentu ia akan sebahagia saat itu. Karena dunianya hanya dibatasi oleh suara, sentuhan, dan rasa. Karena tidak perlu dipukau oleh penampilan, mungkin mereka bisa lebih objektif menilai makanan, ataupun nyanyian seseorang.

Sementara saya akan terus mengalami distraksi berkelanjutan, kebingungan karena semua seolah benderang, terdengar membahagiakan. Seolah semua lima indra saya harus dipuaskan sepuas-puasnya. Kadang kalau saya sedang lelah terhimpit berebut tempat di kereta, saya duduk di peron dengan minuman ringan kesukaan saya, dan benar-benar melupakan semuanya yang sedang terjadi dan akan terjadi, rasanya seperti sedang berada di dalam perjalanan sementara, yang sebentar lagi akan berakhir, selalu begitu.

Mungkin saya perlu menutup mata saya, menutup telinga, dan berpuasa. Indra saya telah menjadi otak saya, telah menjadi hati saya. Indra yang seharusnya membahagiakan, malah menyesatkan. Jika saya terus menerus membandingkan yang tidak masuk akal tanpa usaha, yang ada saya depresi. Kalaupun usaha dengan terus berekspektasi yang berlebihan saya pun akan stress. Kadang saya berpikir, saya ini mau apa.

Jika anda ditanya sungguh-sungguh oleh seseorang, anda ini mau apa, apa jawaban anda?

No comments:

Post a Comment