Sunday, January 4, 2015

Cardigan Hitam

"Beberapa hal di dunia ini tidak melulu tentang kamu." Di depan grand piano pria bercerita, sambil menyandarkan pinggangnya di sisi piano tersebut, sambil menghembuskan asap rokok yang ia hisap, beberapa kali ia terbatuk-batuk di tengah pembicaraannya.

"Jika aku bilang begitu, ya begitu." Ia membungkuk menaruh puntung rokoknya, lalu menginjaknya perlahan.

"Cerita yang selama ini aku ceritakan padamu, tentang pria ini, pria itu, wanita ini, wanita itu, semua itu representasi dari aku, tapi sadar tidak kamu? Dari setiap cerita yang aku ceritakan, tidak selalu, pusat ceritanya berdasarkan karakter utama yang sedang aku ceritakan kan?"

Wajahnya berkerut-kerut, rambutnya tebal hitam, sesekali rambut yang sudah putih mencuat, mencuri-curi dari ubun-ubunnya. Kacamata bulat tanpa bingkainya menggelikan, bekas-bekas minyak dan sidik jari masih melekat di sana.

Aku dari dulu ditugaskan menemani Pak Tomo ini, sebagai tugas akhir kuliah untuk analisa jumlah kresendo di tengah-tengah musik tradisional tahun 1890an, hanya Pak Tomo ini yang konon mengerti. Sudah tiga bulan, yang ia ceritakan hanyalah Pak Abdullah Muhsyan pendiri pesantren di Banten, ataupun Pak Sardjono salah satu pendiri bangsa Indonesia yang mengumpulkan inspirasi lagu-lagu nasional untuk diaransemen ulang oleh WR Supratman.

Beruntungnya, tempat studio musik ini tidak terlalu jauh dari rumahku. Terbilang mahal sih iya, karena seharusnya, satu jam di tempat ini, sekitar dua ratus lima puluh ribu rupiah, karena ini memang untuk latihan musik setara orkestra kontemporer.

Tomo Rudi Gumiwang, kalau tidak percaya, boleh cari di internet. Pria ini memang agak terkenal di kancah musik nasional, tidak jarang ia tampil di orkestra Dusseldorf, namun dia mengaku lebih senang untuk tampil di Guangzhou, karena ia jatuh cinta dengan wanita dengan cardigan hitam di sana, seorang pianis berumur tiga puluh tiga tahun, saat ia di sana di tahun 2005. Namanya Li Xiang, kidal, sempat sekolah musik di Swiss namun drop out karena tidak menyukai standarisasi musik di sana.

Pak Tomo ini, menurutku, kurang lebih berumur 40 tahun. Kalau tidak salah dulu kuliahnya di US, sama juga kasusnya, drop out. Tapi entah mengapa bisa menjadi dosen di kampusku ini. Kalau dicari prestasinya, semua dosen di kampusku memang sakit jiwa semua, karena prestasinya tidak pernah ada yang diekspos media, namun namanya melanglang buana.

"Heh kamu. Sudah berapa lama kamu di sini untuk tugas akhir sih? Kamu belum pernah dengar lagu buatan saya kan? Magnum opus saya ini!" Tiba-tiba ia duduk di depan piano tersebut.

"Judulnya Typical Day Sonata - Variation in F9. Memang gak terlalu kompleks di sini skill saya. Tapi ini sampai sekarang diminta jadi soundtrack kartun-kartun hollywood saya tolak terus."

Aku duduk, mencoba mendengar.

Jika tidak salah, ia memulai di tuts G, dengan tangan kiri kord? Kord G?

Ia bercanda jika lagu dengan tingkat kemudahan seperti ini ia agung-agungkan sebagai karya terbaiknya, padahal aku sudah pernah melihat adaptasi ia bermain Rachmaninov dengan sempurna. Dan sekarang ia bermain dengan kord.

G, F, G, F. Astaga. Tangan kanannya memang variatif, tapi tangan kirinya seperti amatir. Yang paling parah. Kord....

"Jika. Aku mati esok, kuburlah aku di tempat aku bernyanyi paling lantang. Jika. Aku hidup esok, jadikan lah aku nyanyian-nyanyian hujan. Turunkan lah segala harapan. Kau mau menolong siapa? Selama kau berpikir harimau berdosa karena menggigit rusa di depannya, maka kau belum temukan Tuhan yang nyata. Oh Li Xiang, Li Xiang, Li Xiang, sampai kapan kau menghantui malam-malamku. Jika aku mati esok, sampaikan salamku padanya." Dengan nada yang tidak pas dengan denting piano yang ia lantunkan, ia bernyanyi, sedikit kehangatan mulai terasa.

Lalu ia berhenti.

Dia mengambil tuts bagian kiri, dan menghantamnya dengan begitu keras. Suara bass piano itu menggaung, mengaum perih. Lalu ia mulai bermain dengan lebih pelan. Kali ini dia bermain di tangga nada Fminor, dengan sesekali menyentuh kord C7, yang menggantung. Aku mulai senyap.

Aku diam.

"Ya kresendo kresendo, analisa kamu itu aneh. Kenapa dihitung coba naik turunnya nada?" Ia beristirahat setelah lagunya dimainkan. Aku masih hening.

"Ada apa sih pak sama Li Xiang dulu sampai bisa bikin lagu sebagus itu?" Aku bertanya.

"Oh. Ia dia cantik sekali waktu itu. Namun dia gak bisa ngomong selain bahasa Cina. Satu-satunya cara saya merayu dia ya dengan aransemen lagu barusan. Xiang kan mirip-mirip tuh sama siang, jadi ya, diterjemahin ke Inggris aja biar gak keliatan norak." Pak Tomo sambil tertawa terbahak-bahak.

Oh cuman karena gak bisa ngomong bahasa Cina dia bikin lagu sebagus itu. Seniman memang aneh semuanya.

Aku masih terjebak mengerjakan tugas akhir bersama orang aneh ini, doakan aku.

No comments:

Post a Comment