Thursday, January 1, 2015

Tujuh

Dahulu ada seekor domba, di keluarganya, seluruh domba berdiri dengan empat kaki. Hanya dia seorang domba yang berdiri dengan dua kaki, dan menggunakan sisa kakinya sebagai tangan layaknya manusia. Ia bernama Tujuh, karena ia merupakan anak ketujuh, dari empat belas bersaudara. Hampir semua kakaknya sudah meninggal, karena sudah saatnya menjadi domba potong.

"Hai langit, apa sudah takdirmu untuk menjadi langit? Menjadi tidak terbatas dan terus berkelap kelip menampilkan bintang-bintang yang sebenarnya hanyalah masa lalu? Apakah kau punya keinginan selain sekedar menggantung di sana?" Domba sambil berjalan membawa rumput di kedua tangannya.

"Tujuh, mau sampai kapan kamu berdiri dengan dua kaki begitu?" Teriak ayahnya.

Kali ini Tujuh berlari menjauhi sekumpulan domba lainnya dan membawa cemilan rumputnya, ia menemui teman dekatnya sewaktu kecil, seekor serigala yang berdiri dengan dua kaki, bernama Woro.

"Kenapa lagi kau? Kabur lagi?" Sambil mengunyah sayap ayam, Woro bersandar di pohon beringin.

"Lagi krisis, sudah lulus akademi perdombaan, cuman untuk tahu suatu hari akan terus diguntingi bulu-bulumu, hingga nanti kau tumbuh cukup besar untuk dimakan. Depresi." Celoteh Tujuh.

Sambil saling mengemil makanan mereka masing-masing, mereka berceloteh hingga matahari terbenam, mereka berdua pulang ke kumpulannya masing-masing.

Hari demi hari, Tujuh mencari pekerjaan di kalangannya sendiri, ia hanya menemukan pekerjaan memijit induk domba dan menyusui bayi-bayi domba.

Frustrasi, akhirnya Tujuh merapihkan barang-barangnya. Mengambil kacamata peninggalan kakeknya Svensen, memakai pajamanya dan pergi membawa kopernya menuju Duisburg.

No comments:

Post a Comment