"Diagnosa : ketidakstabilan emosi tingkat menengah, terapi / pengobatan : obat minum konsumsi dua kali sehari, 1 jam dalam seminggu konsultasi dengan psikolog, peninjauan kembali setiap 6 bulan."
Baru saja melihat slip pembayaran yang dengan bodohnya ditinggalkan oleh istriku, setelah sepuluh tahun menikah, dikaruniai satu anak, aku mulai berubah. Dengan pendapatan yang relatif stabil, dan karir yang sangat diidamkan oleh teman kerja, semua mempertanyakan alasan mengapa aku mulai sering menangis di meja kantor, hingga akhirnya kabar ini tersebar luas, dan bagian personalia kantor mempertemukan aku, istriku, dan seorang manajer personalia.
Meskipun aku sempat terkejut ketika dijadwalkan meeting pada hari Rabu pagi tersebut, dengan jadwal pertemuan pukul sembilan hingga sebelas. Istriku datang di dalam ruangan tersebut, mendekat dan menggenggam tanganku yang dingin sambil tersenyum dengan tatapannya yang lembut namun tajam, aku hanya bisa tersenyum kebingungan.
Sejak hari itu aku diharuskan untuk bertemu dengan Ibu Widi ini untuk rutin berkonsultasi.
Aku kian sulit menemukan ketenangan pikiran, meskipun kini aku tidak lagi mudah menangis, namun aku merasa bersalah karena merepotkan orang-orang di sekitarku, namun istriku selalu ada di sana berdiri tangguh seolah tidak terjadi apa-apa. Aku terus mempertanyakan kualitasku sebagai pemimpin di keluarga.
Setelah perundingan panjang, akhirnya kami sekeluarga melakukan cuti bersama, istriku yang melakukan segala perencanaannya untuk tempat dan budgeting, aku hanya sibuk menyiapkan celana dalam, dan celana pantai, asumsi tujuan pertama ialah pantai, karena ia begitu mencintai pantai, istriku terlihat begitu semangat bersama anakku membawa mainan-mainannya ke dalam tasnya.
Setelah perjalanan panjang, aku mulai sadar bahwa mobil ini tidak beranjak ke bandara ataupun pelabuhan.
"Kamu kamu... untung Ibu Nila ngasih tau loh, mau jadi apa kamu kalo sama istri aja ga bisa cerita, hah?" Istriku mulai mencubit dan bersenda gurau, aku hanya bisa tersenyum melihat begitu tangguhnya ia.
Sesampainya di tempat, aku sadar bahwa ini bukan tempat liburan. Memang sih ada di dataran tinggi, namun hanya ada dua gubuk, satu besar satunya kecil. Aku mulai turun dan menyesali celana pantai dan renang yang aku persiapkan.
"Ini orangnya Bu? Yaampun hahaha."
Seseorang dengan caping, kulit sawo matang, mata coklat yang agak memiliki lapisan abu-abu di bola matanya, dan pakaian putih lusuhnya.
"Sini-sini pak. Aduh, perkenalkan saya Maman, ini rumah saya, ke belakang lagi ada sawahnya saya, sama yang gubuknya yang agak besar itu punya anak-anak asuh sini yang saya rawat."
Aku hanya bisa terdiam, aku mencoba mencerna apa yang terjadi.
Maman mulai bercerita bagaimana ia sewaktu kecil merupakan seorang yatim piatu karena ayahnya meninggalkan ibunya karena tidak ingin bertanggung jawab atas kehamilan istrinya, sembilan bulan setelahnya ibu dari Maman pun meninggal saat melahirkan, namun dirawat oleh keluarga dari paman terdekatnya. Pamannya selalu menanamkan nilai-nilai yang baik padanya, pamannya selalu bercerita bahwa, seberapa buruk dunia bisa menjadi, manusia harus tetap menjadi baik.
"Karena kadang malam itu bisa terang, kadang bisa gelap, siang pun begitu, yang harus terang bukan langitnya, tapi hati kamu." Kata Maman sambil menirukan suara pamannya.
Sekitar tiga hari aku tinggal di sana mengawasi gerak-gerik Maman, dengan uang yang tidak seberapa, ia berusaha menghidupi tujuh anak yang tinggal bersamanya. Setiap selesai bertani ia berdoa, meminum teh manisnya. Jika dirangkum, hari-harinya hanya dipenuhi usaha, doa, dan menolong orang di sekitarnya. Aku mulai mengerti pesan yang ingin disampaikan.
Aku bersandar lelah di pendopo rumah, hingga seorang anak kecil berjalan dengan lucunya sambil mengangkat bayi kucing dengan kedua tangannya. Aku mulai menangis lagi, kali ini berbeda. Anak kecil itu malah tertawa karena di pikirannya aku takut ketika ia membawa bayi kucing di hadapanku.
Istriku datang menghampiri membawakan tahu goreng.
"Lebih efektif dari terapi kan?" Istriku menyapa.
"Sini-sini pak. Aduh, perkenalkan saya Maman, ini rumah saya, ke belakang lagi ada sawahnya saya, sama yang gubuknya yang agak besar itu punya anak-anak asuh sini yang saya rawat."
Aku hanya bisa terdiam, aku mencoba mencerna apa yang terjadi.
Maman mulai bercerita bagaimana ia sewaktu kecil merupakan seorang yatim piatu karena ayahnya meninggalkan ibunya karena tidak ingin bertanggung jawab atas kehamilan istrinya, sembilan bulan setelahnya ibu dari Maman pun meninggal saat melahirkan, namun dirawat oleh keluarga dari paman terdekatnya. Pamannya selalu menanamkan nilai-nilai yang baik padanya, pamannya selalu bercerita bahwa, seberapa buruk dunia bisa menjadi, manusia harus tetap menjadi baik.
"Karena kadang malam itu bisa terang, kadang bisa gelap, siang pun begitu, yang harus terang bukan langitnya, tapi hati kamu." Kata Maman sambil menirukan suara pamannya.
Sekitar tiga hari aku tinggal di sana mengawasi gerak-gerik Maman, dengan uang yang tidak seberapa, ia berusaha menghidupi tujuh anak yang tinggal bersamanya. Setiap selesai bertani ia berdoa, meminum teh manisnya. Jika dirangkum, hari-harinya hanya dipenuhi usaha, doa, dan menolong orang di sekitarnya. Aku mulai mengerti pesan yang ingin disampaikan.
Aku bersandar lelah di pendopo rumah, hingga seorang anak kecil berjalan dengan lucunya sambil mengangkat bayi kucing dengan kedua tangannya. Aku mulai menangis lagi, kali ini berbeda. Anak kecil itu malah tertawa karena di pikirannya aku takut ketika ia membawa bayi kucing di hadapanku.
Istriku datang menghampiri membawakan tahu goreng.
"Lebih efektif dari terapi kan?" Istriku menyapa.
No comments:
Post a Comment