Hari Kamis, saya beranjak dari rumah dengan niat untuk survei tempat baktisosial. Jadi tempat yang akan dikunjungi ya akan di bawah standar ekonomi menengah. Saya ditemani pria sipit bodoh, panggil saja ia Rolando agar lebih keren, maklum nama aslinya tidak enak didengar.
Kita mencari orang yang tidak beruntung, filosofinya sih begitu. Jika saat ini juga semua orang diperbolehkan untuk mengangkat tangannya apabila mereka merasa tidak beruntung, mungkin mayoritas akan mengangkat tangannya. Namun apabila kita dibariskan dengan orang-orang yang miskin, cacat fisik, korban kriminal, dan segala lainnya, apa tidak sungkan jemarimu untuk mengacung? Karena saya sendiri, kala sebelum berangkat ke tempat-tempat tersebut, masih murung, dan mempertanyakan nasib saya.
Tempat pertama itu panti asuhan anak-anak di bilangan komplek yang cukup elit, tidak mengejutkan juga tempat panti tersebut sangat terawat, tertata, dan bersih. Semua fasilitas disiapkan untuk anak-anak yang kehilangan orang tuanya ini. Saat saya masuk para balita sedang asik berbicara dengan balita lainnya. Muka saya yang tadinya tidak bersemangat, terpaksa tersenyum karena gemas melihat seorang anak perempuan kecil dengan mata besar dan rambut keritingnya memandangi kita sang tamu. Hampir saya bungkus bawa pulang.
Tempat kedua, kampung pemulung. Di dekat komplek yang sudah cukup tertata, sekitar 50 meter dari sana, terdapat perumahan ilegal nan kumuh yang ditinggali para pemulung botol plastik. Bau tengik memang agak mendominasi ketika saya melangkah masuk ke dalam komplek, namun lama kelamaan bau itu hilang, saya sadar bahwa ternyata sampah basah di depan kampung yang sedang dibakar itu yang menyebabkan bau tidak mengenakan itu, setelah saya masuk, meskipun berantakan, kampung ini tidak berbau apapun, karena botol-botol sampah yang berserakan itu kering, tidak ada organisme yang mampu membusuk atau tumbuh di sana.
Rumah mereka dilapisi triplek, jika saya terpleset sedikit, saya akan menghancurkan rumah mereka, saya tidak bisa membayangkan jika terjadi hujan badai di sini, bubar pasti. Kampung ini jorok, terlepas dari keadaan finansial mereka, saya masih berusaha mencerna mengapa mereka tidak ingin untuk tampil lebih bersih, padahal anak muda di kampung tersebut masih ramai dan terlihat sehat. Sanitasi mungkin tidak dianggap suatu hal yang penting, asal bisa hidup mungkin. Mereka hidup dengan damai sih dari sepenglihatan saya. Walaupun terlelap bersama sampah seperti kardus kaos bekas di mana-mana.
Saya mulai meragukan penderitaan saya selama ini, relatif mungkin kata yang tepat, saya sebelumnya hanya melihat masalah saya dari sudut pandang yang sempit.
Sebelum ke tempat terakhir, saya makan mie ayam, yang sangat enak menurut saya, walaupun tempatnya kurang meyakinkan.
Kita berdua menelusuri gang kecil, hingga sampai ke tempat ini. Sesampainya di tempat, saya bertemu anak kecil dan diarahkan untuk masuk ke dalam bertemu dengan seorang ibu yang sedang duduk santai di sofanya. Saya memperkenalkan diri dan menjelaskan apa yang saya ingin sampaikan dan tujuan bakti sosial saya.
"Sebelum kamu mau ngomong ini itu, mau ngurus bakti sosial. Jawab ini dulu." Kata wanita yang terlihat sudah berumur agak tua tersebut.
"Kamu ini, sewaktu lahir, selalu ada sosok yang melindungi kamu, hingga kamu dewasa sekarang. Siapa dia?" Aku sempat berpikir bahwa yang ditanyakan adalah tentang jin mistis, logikaku menjawab segera.
"Ibu."
"Nahh! Ibu. Benar! Sayangi mama kamu. Kalau orang tidak sayang sama mamanya, rejekinya akan ditutup. Ibu telah berkorban hidup mati, berdoa untuk kamu. Jadi kamu harus sayang sama ibu kamu ya? Mama kamu itu tidak butuh uang, tidak butuh harta, tapi mama kamu butuh kasih sayang. Banyak orang lupa, nanti kalau kamu punya pacar, ceritakan ke pacar kamu bahwa kamu ini punya ibu, yang akan kamu terus jaga, biar pacar kamu tuh tahu bahwa kamu punya tanggung jawab. Banyak perceraian itu terjadi gara-gara orang tidak sayang sama mamanya."
Saya terus mengangguk. Saya selalu mengimajinasikan hidup saya suatu saat akan dituntun oleh seorang kakek berjanggut putih, dan kini saatnya tiba. Namun saya tidak pernah lebih terinspirasi dari ini, karena wanita ini kerap berteriak dengan nada lantang untuk menekankan kalimat-kalimatnya.
Kalimat kalimat yang saya simpan di memori saya setelah bertemu wanita yang ternyata ingin dipanggil "Oma" tersebut pun aku ingat dalam-dalam.
Pekerjaan itu akan datang dengan sendirinya, rejeki itu datangnya dari Gusti Allah, nanti kamu pasti dapat pekerjaan, asal kamu sayang sama mama ya.
Saya ini umur 75 tahun, punya anak yatim di sini sekitar 33 an, dan jompo 30 orang, saya harus bayar transport tiap anak yang sudah mulai kuliah 30 ribu. Hingga saya berhasil itu, lihat 3 anak sudah kuliah sekarang. Hebat tidak? Yang hebat itu Tuhan! Mungkin kadang kita merasa takut, merasa apa mungkin. Tapi itulah Tuhan, rezekinya akan datang.
Ya hingga akhirnya saya terus diceramahi, namun hanya kalimat-kalimat itu yang masih menempel di otak saya. Lalu saya pulang dan segera berusaha berbakti kepada orang tua saya. Mungkin saya diingatkan oleh Tuhan, selama ini muluk-muluk ingin membahagiakan orang-orang di sekitar saya, teman, pacar, dan ingin menolong orang kurang mampu, namun saya lupa untuk meluangkan waktu untuk orang tua saya.
Apapun itu, mungkin sudah saatnya untuk kembali percaya bahwa mukjizat sesekali akan datang.
Kita mencari orang yang tidak beruntung, filosofinya sih begitu. Jika saat ini juga semua orang diperbolehkan untuk mengangkat tangannya apabila mereka merasa tidak beruntung, mungkin mayoritas akan mengangkat tangannya. Namun apabila kita dibariskan dengan orang-orang yang miskin, cacat fisik, korban kriminal, dan segala lainnya, apa tidak sungkan jemarimu untuk mengacung? Karena saya sendiri, kala sebelum berangkat ke tempat-tempat tersebut, masih murung, dan mempertanyakan nasib saya.
Tempat pertama itu panti asuhan anak-anak di bilangan komplek yang cukup elit, tidak mengejutkan juga tempat panti tersebut sangat terawat, tertata, dan bersih. Semua fasilitas disiapkan untuk anak-anak yang kehilangan orang tuanya ini. Saat saya masuk para balita sedang asik berbicara dengan balita lainnya. Muka saya yang tadinya tidak bersemangat, terpaksa tersenyum karena gemas melihat seorang anak perempuan kecil dengan mata besar dan rambut keritingnya memandangi kita sang tamu. Hampir saya bungkus bawa pulang.
Tempat kedua, kampung pemulung. Di dekat komplek yang sudah cukup tertata, sekitar 50 meter dari sana, terdapat perumahan ilegal nan kumuh yang ditinggali para pemulung botol plastik. Bau tengik memang agak mendominasi ketika saya melangkah masuk ke dalam komplek, namun lama kelamaan bau itu hilang, saya sadar bahwa ternyata sampah basah di depan kampung yang sedang dibakar itu yang menyebabkan bau tidak mengenakan itu, setelah saya masuk, meskipun berantakan, kampung ini tidak berbau apapun, karena botol-botol sampah yang berserakan itu kering, tidak ada organisme yang mampu membusuk atau tumbuh di sana.
Rumah mereka dilapisi triplek, jika saya terpleset sedikit, saya akan menghancurkan rumah mereka, saya tidak bisa membayangkan jika terjadi hujan badai di sini, bubar pasti. Kampung ini jorok, terlepas dari keadaan finansial mereka, saya masih berusaha mencerna mengapa mereka tidak ingin untuk tampil lebih bersih, padahal anak muda di kampung tersebut masih ramai dan terlihat sehat. Sanitasi mungkin tidak dianggap suatu hal yang penting, asal bisa hidup mungkin. Mereka hidup dengan damai sih dari sepenglihatan saya. Walaupun terlelap bersama sampah seperti kardus kaos bekas di mana-mana.
Saya mulai meragukan penderitaan saya selama ini, relatif mungkin kata yang tepat, saya sebelumnya hanya melihat masalah saya dari sudut pandang yang sempit.
Sebelum ke tempat terakhir, saya makan mie ayam, yang sangat enak menurut saya, walaupun tempatnya kurang meyakinkan.
Kita berdua menelusuri gang kecil, hingga sampai ke tempat ini. Sesampainya di tempat, saya bertemu anak kecil dan diarahkan untuk masuk ke dalam bertemu dengan seorang ibu yang sedang duduk santai di sofanya. Saya memperkenalkan diri dan menjelaskan apa yang saya ingin sampaikan dan tujuan bakti sosial saya.
"Sebelum kamu mau ngomong ini itu, mau ngurus bakti sosial. Jawab ini dulu." Kata wanita yang terlihat sudah berumur agak tua tersebut.
"Kamu ini, sewaktu lahir, selalu ada sosok yang melindungi kamu, hingga kamu dewasa sekarang. Siapa dia?" Aku sempat berpikir bahwa yang ditanyakan adalah tentang jin mistis, logikaku menjawab segera.
"Ibu."
"Nahh! Ibu. Benar! Sayangi mama kamu. Kalau orang tidak sayang sama mamanya, rejekinya akan ditutup. Ibu telah berkorban hidup mati, berdoa untuk kamu. Jadi kamu harus sayang sama ibu kamu ya? Mama kamu itu tidak butuh uang, tidak butuh harta, tapi mama kamu butuh kasih sayang. Banyak orang lupa, nanti kalau kamu punya pacar, ceritakan ke pacar kamu bahwa kamu ini punya ibu, yang akan kamu terus jaga, biar pacar kamu tuh tahu bahwa kamu punya tanggung jawab. Banyak perceraian itu terjadi gara-gara orang tidak sayang sama mamanya."
Saya terus mengangguk. Saya selalu mengimajinasikan hidup saya suatu saat akan dituntun oleh seorang kakek berjanggut putih, dan kini saatnya tiba. Namun saya tidak pernah lebih terinspirasi dari ini, karena wanita ini kerap berteriak dengan nada lantang untuk menekankan kalimat-kalimatnya.
Kalimat kalimat yang saya simpan di memori saya setelah bertemu wanita yang ternyata ingin dipanggil "Oma" tersebut pun aku ingat dalam-dalam.
Pekerjaan itu akan datang dengan sendirinya, rejeki itu datangnya dari Gusti Allah, nanti kamu pasti dapat pekerjaan, asal kamu sayang sama mama ya.
Saya ini umur 75 tahun, punya anak yatim di sini sekitar 33 an, dan jompo 30 orang, saya harus bayar transport tiap anak yang sudah mulai kuliah 30 ribu. Hingga saya berhasil itu, lihat 3 anak sudah kuliah sekarang. Hebat tidak? Yang hebat itu Tuhan! Mungkin kadang kita merasa takut, merasa apa mungkin. Tapi itulah Tuhan, rezekinya akan datang.
Ya hingga akhirnya saya terus diceramahi, namun hanya kalimat-kalimat itu yang masih menempel di otak saya. Lalu saya pulang dan segera berusaha berbakti kepada orang tua saya. Mungkin saya diingatkan oleh Tuhan, selama ini muluk-muluk ingin membahagiakan orang-orang di sekitar saya, teman, pacar, dan ingin menolong orang kurang mampu, namun saya lupa untuk meluangkan waktu untuk orang tua saya.
Apapun itu, mungkin sudah saatnya untuk kembali percaya bahwa mukjizat sesekali akan datang.
No comments:
Post a Comment