Thursday, September 11, 2014

Perspektif Baik

Agama itu baik.

Tuhan itu baik.

Manusia itu baik.

Tuhan menghadiahkan kemampuan berpikir dengan kebebasan yang tidak terbatas, beberapa sungguh menjadi hadiah, beberapa malah membuat makhluknya mempertanyakan keadilan penciptanya.

Dunia terus memaparkan definisi kebahagiaan ialah ketika memiliki perusahaan, istri, anak berpendidikan, uang yang cukup, dan rekognisi sosial yang cukup. Lalu manusia menjadi terikat dengan hal tersebut, seolah jika mereka tidak mampu mendapatkan semuanya, maka segala cara harus ditempuh, dan selama masa usaha tersebut, kita akan menunda, menunda kebahagiaan kita.

"Pah, malam ini bisa makan sama ayah sama ibu? Hari ulang tahun perkawinan mereka loh." Seorang istri mengingatkan suaminya. "Aku malam ini lembur, kalau gak maksain hari ini, gak bisa naik pangkat sayang, maaf yah."

Semenjak hari itu, kebahagiaan demi kebahagiaan ditumpuk dan disia-siakan seolah mereka merupakan makanan kaleng yang tidak akan kadaluarsa, dan orang-orang terdekat itu mulai menua, dan mulai tiada. Lagi-lagi karena prioritas yang salah, perspektif yang salah tentang hidup, seolah dunia mampu menunggu.

Hadirlah Tuhan dengan bentuk agama-agama yang melembutkan nurani manusia yang semakin terbentuk oleh periklanan dunia, kebutuhan duniawi, seolah mereka sungguh akan menghasilkan kebahagiaan yang permanen setelah segala standarisasi kebutuhan itu dipenuhi.

Tuhan kemudian hadir dengan pesan-pesan untuk menyayangi orang terdekat, orang tua, lalu bersyukur atas hari-hari yang kelam maupun menyenangkan, untuk tetap jujur, setia, tidak rakus, dan tidak mendahului nafsu di atas segala-galanya. Karena Tuhan tidak ingin disembah, karena begitu besarnya Ia, Ia menginginkan kita bahagia, maka Ia memberikan pesan-pesan ini, untuk kembali lembut, dan tidak menginginkan segalanya.

Sayangnya substansi keTuhanan dinodai, dihilangkan, dimasukkan dalam kemasan yang sama (agama), untuk saling membeda-bedakan.

Sisi baik selalu ada dari segala hiruk pikuk ini, dan berjalan lah terus di jalan kebenaran yang terlihat panjang dan sepi, tipis bahkan untuk setapak, lalu teruslah menjadi bahagia dalam kesabaran yang sunyi. Sabar karena kita mengerti dunia secara komprehensif, "dunia tidak selalu membahagiakan, dan tidak ada yang abadi". Dengan begitu masa muda dan tuamu, akan dilindungi dari kebahagiaan-kebahagiaan semu, dan tidurmu akan perlahan mulai nyenyak.

Bersabarlah dalam nama Tuhanmu.

No comments:

Post a Comment