Saturday, August 2, 2014

Menjadi Dewasa

Panggil saja aku Robert, agar aku terdengar berbulu dada dengan tatapan tajam bagai pria eropa, walaupun sebenarnya aku hanya pria sipit kurang berolahraga.

Aku masih di sini, di tengah kerumitan dunia. Di keramaian ketika orang banyak berpesta pora dan tertawa gembira, aku duduk memanggil salah satu pelayan sambil menatap gelas yang sudah hampir habis, kesadaranku mulai sirna.

"Satu lagi mas es teh manisnya." Ujarku.

Sudah gelas kedua, belum ada tanda-tanda kepenatanku hilang. Ya, memang karena dididik untuk menjauhi minuman keras, aku meminum gelas-gelas ini seolah minuman yang paling memabukkan. Seperti kata motivator, semua tergantung pikiran. Bahkan bartender agak kesal karena aku memaksa untuk dibuatkan es teh manis yang tidak ada di menu, perutku agak alergi dengan soda.

Aku sebenarnya pria sukses, aku sempat ikut fitness, sekitar dua tahun yang lalu, sisa-sisa ototku masih terpampang di kemejaku, aku punya pekerjaan, ya tidak seberapa, namun sudah bisa menyicil rumah di bilangan luar Jakarta. Namun aku dilahirkan di lingkungan yang terlalu borjuis, terlalu elite, orang tuaku keduanya adalah pasangan sukses, almarhum Ayahku dulu seorang pengusaha, Ibuku seorang dokter gigi. Mereka berdua sering tampil sebagai pasangan sukses yang dikagumi semua orang. Tak jarang mereka mengajakku untuk melihat mereka tampil di seminar.

Ekspektasi lahir di pundakku, mereka terus berkata, jika ingin berbalas budi kepada mereka, jadilah sukses. Hari demi hari ketika aku beralih dari SMA hingga melanjutkan pendidikan ke Universitas di Malaysia. Di sana aku kehilangan jati diriku. Aku yang tadinya target-oriented, tidak lekang lelah jika diharuskan untuk bekerja keras, menemukan indahnya keramaian, ketidak pastian, dan indahnya hidup tanpa penglihatan orang tua. Aku yang sekedar kuliah manajemen, teman-temanku mampu lulus tiga tahun, aku harus terjebak di sana hingga 5 tahun.

Kala aku pulang. Aku menemukan Ayaku sudah mulai sakit-sakitan, hanya selang dua bulan akhirnya ia meninggal dunia. Seminggu penuh rumahku tidak berhenti dibanjiri bunga, namun sayangnya, pengirimnya tidak pernah menyempatkan untuk hadir untuk melihat tubuh Ayahku sebelum akhirnya bersemayam di liang lahat.

Ibuku pun akhirnya menjadi lebih penyendiri dan sering bepergian dengan teman-temannya yang umumnya istri-istri pengusaha yang tugasnya menghabiskan uang suami. Aku tahu Ibuku berbeda, namun, rasa sepi tidak bisa ia tahan lagi.

"Aku tidak mau mati seperti itu. Setidaknya aku ingin ada beberapa orang untuk berbisik dan memberikan lelucon terbaiknya di telingaku yang sudah membeku ketika aku mati nanti." Aku masih asik berbicara bersama gelas teh manisku, mabuk glukosa mungkin.

Teman-temanku semua sudah menikah, mereka tinggal di apartemen mewahnya, namun setiap aku bertemu dengan mereka yang aku rasakan hanyalah kumpulan babi rakus uang yang kebetulan beruntung, pembicaraanku dengan mereka tidak pernah bernyawa.

Aku mengambil jaketku dan beranjak pulang. Tak lama dari aku keluar dari bar di tengah malam itu, seseorang memanggil dari kejauhan.

"Payungnya mas, payungnya." Seorang penjaga bar membawa payung warna warni.

"Bukan punya saya mbak." Aku sambil menekan kunci otomatis mobilku.

Aku masuk ke dalam mobil, menggosokkan kedua telapak tanganku sambil menghangatkannya, lalu menempelkannya ke wajahku.

Tak lama kemudian aku mengangkat telapak tanganku dan ternyata wanita dengan payung tersebut masih berusaha untuk mengetuk-ngetuk kap mobil sambil melambaikan tangannya. Aku pun membuka jendela mobilku.

"Iya mbak? Bukan punya saya mbak beneran." Aku membalas sopan.

"Tadi kata orang di dalem punya mas kok." Wanita itu menurunkan nadanya, aku pun mematikan mesin dan turun dari mobil, aku bertanya kepada wanita tersebut siapa yang berkata bahwa payung ini miliknya.

Ia berjalan kembali menelusuri ramainya manusia, wanita tersebut menunjuk dari kejauhan, seorang wanita yang kira-kira duduk tiga kursi di sebelah kanan dari posisiku duduk sebelumnya ternyata, aku berterimakasih dan mulai mendekat.

"Hai, mbak, sori, tadi bukan payung saya." Aku menghampirinya dan menegaskan kenyataan yang ada.

Wanita ini agak gemuk, rambut panjang, berkacamata, lipstiknya merah, kemeja kotak-kotak merah dengan garis kuning hijau, celana jeans pendek, dan stocking dari ujung kaki ke pahanya. Ia menoleh sambil mengangkat gelasnya.

"Wah om. Karena om udah jujur. Sekarang dapet hadiah deh. Om gak bawa mobil? Saya anterin pulang deh gimana?" Wanita ini aneh, aku harus menjauh darinya, aku sudah membaca beberapa manual tentang bagaimana menaklukkan wanita, dan ini merupakan jenis wanita yang harus kuhindari.

"Oh, saya udah bawa..."

"BRUK"

Jidat wanita itu menabrak meja di depannya. Aku menunjuk nunjuk, menekan kepalanya untuk memastikan bahwa ia tidak mati.

"Udah tujuh shot mas dia. Di tengah-tengah minta beer segelas, abis juga lagi." Kata seorang bartender.

Aku duduk di samping wanita tersebut dan membiarkan wanita tersebut tertidur tanpa sadar dengan bodohnya. Di tasnya ia menggulung majalah, aku mengambilnya dari tas yang ia gantungkan di kursi. Majalah Rolling Stone bulan ini ternyata. Aku meminjam untuk membaca lembar demi lembar, niatku untuk pulang jadi hilang.

Tanpa kusadari aku merasakan hal yang lunak di tangan kananku.

"AHHH! TAI!" Aku berteriak kaget.

Mayat kecoa ternyata masih menempel di belakang majalah tersebut. Aku bergegas meninggalkan payung dan majalah tersebut di dekat wanita aneh itu dan pergi menuju toilet untuk mencuci tangan, berkali-kali.

Akhirnya sudah tujuh kali aku mencuci kedua tanganku, aku sambil berusaha mengeringkannya di celana bahanku sesekali.

"Bet! Abet! Ini Via woi, Via temen SMA lo bego."

Ah belum selesai satu masalah, wanita aneh part dua datang lagi, kebetulan wastafel berada di antara toilet perempuan dan pria, aku berusaha tenang. Via memang cantik, namun dangkal. Pakaiannya tidak pernah tidak minim, membosankan.

"Eh gila lo! Lo sekarang gimana? Kok bisa jadi ganteng deh lo? Lo minum sekarang? Demi apa!?" Via dengan tas kecil di pinggangnya, dan handphone dengan casing pink di tangan kirinya.

Menanggapi pertanyaannya yang terlalu banyak aku hanya bisa memakai wajah tersenyum pucat sambil mengerutkan segala otot di wajahku. Sambil melihat jam, aku sadar sudah waktunya pulang. Aku tidak sempat membalas pertanyaan apapun. Aku langsung keluar dari keramaian dan kembali menyalakan mobilku.

Aku menyetir pulang penuh beban. Di tengah perjalanan telepon genggamku bergetar, sambil melirik aku membacanya.

"Bagus ya, kata temen aku, kamu bikin anak orang mabok sampe pingsan? Terus keluar dari toilet bareng cewek lain. Pulang! Kalo gak bisa jelasin ke aku, siap-siap tv kamu di rumah pecah semua."

Ya terlepas dari segala pertanyaan-pertanyaanku tentang kehidupan, aku harus terus berjalan. Karena aku terus hidup bukan karena jawaban, tapi karena terus melangkah dan berusaha di manapun aku berada. Mungkin ini yang dinamakan beranjak dewasa.

No comments:

Post a Comment