Dahulu di zaman berjayanya kerajaan Hindu dan Buddha ada seorang guru besar di kepulauan Jawa yang terkenal dengan kebijaksanaannya, ia berpindah-pindah dari ujung barat ke timur, dan ketika murid-muridnya bertanya padanya mengapa ia tidak pernah menyebutkan tujuannya ia hanya mengangguk sambil menyisir rambutnya yang putih terang sambil berkata "Dari awal, tujuannya hanyalah berjalan nak."
Nama panjang guru besar tersebut ialah Galung Pramudiyana, namun ia lebih sering dipanggil Bumi oleh murid-muridnya. Karena ketenarannya ia sering diundang untuk menjadi penasehat kerajaan, namun ia selalu hanya ingin berdiam di sana dalam kurun waktu kurang dari enam bulan sebelum akhirnya melanjutkan perjalanannya.
Menurut salah satu muridnya, Jaya Radikusuma, gurunya pernah berbicara empat mata membahas tentang bagaimana seseorang atau bahkan kerajaan harus menghidupi hidup mereka. "Bumi suka menjelaskan hal-hal dengan konyol, naif, dan realistis dalam waktu yang bersamaan. Ia sering berkata bahwa, jangan bunuh seluruh serigala dan kau mengembang biakkan domba dan kambing agar semuanya sejahtera dan bahagia. Karena ketika manusia merasa bisa mengendalikan semesta, mereka akan menjadi rakus. Biarkan rakyat mampu merasakan tenang dan mempunyai rasa takut yang nyata tentang hidup mereka. Karena hal-hal tersebut yang menjadikan mereka suatu makhluk. Jika semua bisa ditaklukkan, satu per satu manusia ingin menjadi Dewa di antara kaumnya."
Jaya yang jauh lebih muda tidak pernah mampu mengambil makna secara menyeluruh dari tiap perkataan Bumi, dan salah satu kalimatnya yang paling tidak mampu ia mengerti ketika ia memerintahkan seorang anak remaja penerus kerajaan Kurangga, Ananta yang masih berumur lima belas tahun untuk melepaskan tahtanya dan beralih menjadi pandai besi di suatu desa jauh dari perbatasan kerajaan, tepat enam tahun setelah kepergian mantan raja muda tersebut, terjadi perang saudara yang menghanguskan seluruh pejabat dan kaum ningrat dalam kerajaan, setelah ia tumbuh dewasa, tanda kerajaan di pundak kiri Ananta membuatnya ia terpanggil kembali oleh para saudagar dan menjadikan kerajaan tersebut jauh lebih makmur dari sebelumnya.
"Biar engkau menyelesaikan dengan cara yang manusiawi, dan biarkan aku menyelesaikan dengan cara semesta. Jangan kau paksakan pisang untuk tumbuh di pesisir pasir, dan jangan kau berdoa pada Dewa untuk menjadikannya pohon kelapa." Bumi menerangkan.
Sewaktu muda Galung kehilangan kedua orang tuanya ketika desa asalnya terlibat perang saudara. Sejak lima tahun ia diangkat dan dibesarkan oleh raja di desanya, ia menempuh pendidikan hingga akhirnya ia harus sekali lagi melihat ayah angkatnya dibunuh oleh salah satu anaknya hanya karena perebutan tahta penerus kerajaan. Semenjak itu Galung pergi mengasingkan diri dengan kekecewaannya.
Ketika ia mengasingkan diri, ia bertemu dengan biksu Buddha La Chien di tempat ia bekerja sebagai pangrajin topi caping. Ketika seorang biksu tersebut meminta untuk topi capingnya diperbaiki, ia menyadari dan merasakan bahwa kasta yang dimiliki Galung bukanlah seorang pedagang topi biasa, dengan ucapan dan tutur katanya yang lembut. La Chien akhirnya memutuskan untuk bermalam di tempat Galung.
"Galung, jika kau mendengar ini, jangan kau dongakkan kepalamu. Jika kau mendengar ini maka mulai saat itu juga kau harus melepaskan segala keinginanmu dan harapan-harapanmu atas dunia." La Chien bercerita sambil menikmati makan malam.
"Kamu ini, reinkarnasi anak dewa. Mulai esok pagi ikutlah denganku. Aku akan mengajarkan apapun yang aku bisa ajarkan padamu."
Semenjak itu Galung dinamakan Bumi oleh biksu yang mendidiknya untuk menjadi guru besar. Hingga saat ini Galung masih hidup dan terus menelusuri di kepulauan jawa, ia tidak akan ingin menjadi kaya ataupun besar, jika bertemu, semua orang marak berkata bahwa mereka telah menyelesaikan Kuliah Bumi.
No comments:
Post a Comment