Friday, June 27, 2014

Paradoks Latar Belakang

Jika sering terdengar keluhan-keluhan manusia yang menyalahkan perbuatannya karena latar belakangnya yang buruk, mungkin ini akan jadi pembahasan yang cukup menarik.

Panggil saja Beto, ayahnya sudah meninggalkannya sejak dia lima tahun karena berseteru dengan ibunya, ibunya sejak itu tidak mampu menghidupinya hanya dengan menjadi ibu rumah tangga. Ibunya sendiri akhirnya tidak mampu mengurusnya dengan baik, terpaksa menitipkan ke pamannya, kakeknya berganti-ganti seiring waktu, seiring tumbuh dewasa, ia penuh kebingungan. Karena latar belakang yang berbeda-beda, dan kasih sayang yang ia dapatkan hanyalah dari lingkungan bukan merupakan dari keluarga. Seiring waktu, ia salah, sewaktu SMA ia mulai tertarik untuk mengkonsumsi minuman keras karena pamannya sendiri memang pemabuk, lalu sekaligus ia menjadi emosional dan pandai bertengkar. Namun ia tumbuh di lingkungan yang beragam, namun tidak apatis, sehingga kapanpun Beto salah, ia akan segera menerima koreksi sosial entah dari tetangga atau orang sekitar yang peduli.

Beto tumbuh secara utuh, belajar, ia belajar dari kesalahan, walaupun tidak diniatkan. Ia mengakui ia sial karena latar belakangnya tidak menjadikannya seorang yang dilindungi dari kecil. Namun kini ia sudah genap tiga puluh tahun kini menjadi pegawai negri sipil, menikah, dan semua baik-baik saja.

Lalu di dalam waktu yang sama, namanya Danang. Ayah ibunya merupakan keluarga yang sebenarnya harmonis, namun ketika menyangkut pendidikan anak, mereka kerap mengandalkan apa yang diperbolehkan apa yang dilarang. Karena latar belakang agama yang kuat, Danang sejak sekolah dasar hingga lulus universitas berasal dari lembaga pendidikan dengan dogma yang kuat, namun lagi-lagi moral agamanya sayang hanya sampai di tahap apa yang boleh apa yang dilarang, sejenis dengan ajaran orang tuanya. Namun Danang sendiri akhirnya terus bertanya-tanya mengapa ada orang yang seperti ini dan itu.

Setelah lama terperangkap dalam gua, akhirnya ia keluar di kehidupan yang sesungguhnya. Segala macam godaan, rasionalitas, spiritualitasnya diuji ke tahap yang gila-gilaan. Hingga pada akhirnya, pada usia dua puluh tiga tahun, Danang menikah karena tidak sengaja membuat rekan kerja satu kantornya hamil. Kini ia menginjak usia tiga puluhan, seorang manager, dan semua baik-baik saja.

Mungkin.

Mungkin, tanpa ada maksud merusak konteks keagamaan yang sifatnya preventif. Namun secara konteks manusia itu sendiri, mereka sifatnya seringkali membutuhkan pembelajaran yang sifatnya riil yang hanya bisa hadir dari pengalaman. Tentu beda ketika ada seseorang tidak bejat di pondok pesantren dan tidak bejat di lingkungan perkantoran. Yang satu lebih utuh secara nilai sosial, karena mereka tidak diisolasi dari kehidupan nyata.

Bukan bermaksud merusak sesuatu yang tadinya hitam putih, siapa yang benar salah menjadi abu-abu. Tapi ini lebih mengedepankan bagaimana nanti para pembaca dalam memilih lingkungan pertemanannya, dan juga lingkungan anaknya. Saya sendiri percaya bahwa jika semua diajarkan secara keseluruhan, dan anak dibiarkan untuk bermain hingga malam, dengan pengawasan dan komunikasi yang baik. Kedua kasus ini tidak perlu terjadi dulu untuk menjadi manusia yang utuh. 

Faham moderatisme kini semakin ditinggalkan, jadi keluarga sekarang cenderung mengisolasikan anak atau menjadikan anak kaum liberalis dengan memberikan segala apa yang mereka minta dan butuhkan, dan buruknya lagi ialah lingkup sosialnya juga sudah taraf sakit dan teramat sangat apatis sehingga tidak ada koreksi sosial terjadi, yang ada hanyalah saling bisik-membisik saling menghina dalam diam.

Moral itu seharusnya berasal dari kebebasan, dibentuk tanpa mengubah karakter dan kreatifitas orang tersebut, dan dipraktekkan di lingkungan manapun aktif maupun pasif. Ya mungkin tulisan ini salah.

No comments:

Post a Comment