Rumput pagi. Matahari yang masih malu-malu. Kelopak mata yang masih sayu. Setiap harinya, di tengah ribuan orang. Kita mencoba menjadi signifikan di antara yang lainnya, beberapa mungkin masih di tahap sekedar bertahan hidup. Lalu dengan pencapaian demi pencapaian beberapa bersyukur, beberapa membeli hal baru, beberapa berencana, beberapa khilaf, dan beberapa tidak merasakan adanya beda.
Dalam hati rasanya tumbuh penyakit. Seiring dengan gelombang pasang surut sulitnya problematika kehidupan. Sulit untuk melihat orang sama rata dengan kita. Mereka yang pakai celana sempit, mereka yang naik motor berempat, dan mereka yang rambutnya basah terus gak pernah kering.
Waktu sekolah dasar hingga sebelum masuk kuliah, selalu diceritakan bagaimana kronologi Adam sebagai manusia pertama diciptakan.
Malaikat enggan menerima ide tersebut, apalagi iblis. Hingga akhirnya diciptakan, iblis sungkan untuk sujud atas penciptaan manusia pertama tersebut, karena merasa dirinya lebih baik karena diciptakan dari api ketimbang tanah. Hingga iblis bersumpah untuk terus mengganggu umat manusia hingga kiamat karena diusir Tuhan dari kerajaannya dulu.
Hingga akhirnya Adam memakan buah terlarang tersebut karena godaan iblis. Andai saja iblis tidak segitu sombongnya, mungkin kita semua masih di alam sana menikmati es krim green tea.
Sombong. Merasa dirinya lebih baik dari orang lain atau memiliki suatu hal yang lebih baik ketimbang orang punya di kisah ini menjadikan seorang yang tadinya gak ada masalah apa-apa, berubah 180 derajat jadi penuh dendam gak karuan. Seumur hidup ia ingin membuktikan bahwa iblis dan kaumnya lebih baik daripada manusia.
Konyol sih dengernya.
Tapi di dalam kehidupan sehari-hari juga begitu. Ketika kita merasa lebih baik dari orang lain, atau sekedar ingin menjadi lebih baik, kita akan menilainya bagai iblis menilai manusia dulu, konyol teorinya, "Lah situ dari tanah, saya dari api." Sehingga ia layak untuk tidak patuh dan membangkang.
Sama halnya ketika mata kita menilai seseorang yang berpakaian berantakan di kantor, atau pemuda jelek tapi membawa mobil sport, dan anak-anak sekolah yang nongkrong di warung. Terjadilah proses membandingkan, siapa yang lebih baik. Jika secara fisik, seperti metode iblis membandingkan sebelumnya, ya kita akan menilai sesuatu dengan yang sebenarnya tidak bisa diukur. Apa yang membuat tanah lebih baik dari api? Dan sebaliknya?
Jika kita masih bisa memandang rendah seseorang, kita masih sombong. Satu satunya orang yang harus dijadikan referensi dalam istilah 'lebih baik' ya diri sendiri, instropeksi, bukan komparasi.
Kalau sudah menjadi sombong. Kita akan terus hidup dalam ajang pembuktian. Siapa yang lebih hebat, lebih kuat. Namun kita akan kembali ke pada pertanyaan yang tidak akan pernah bisa dijawab. Apa yang membuat tanah lebih baik dari api? Dan dijamin hidup kita hanya akan sia-sia belaka.
Jauhi sifat sombong dan merasa lebih baik, lebih beda, lebih apapun. Dengan begitu, semua orang bisa jadi lebih baik.
No comments:
Post a Comment