Dia selalu mempermasalahkan semuanya, yang tadinya hanya suatu informasi yang lalu lalang, tiba-tiba menjadi masalah. Sesuatu yang tadinya hitam putih, menjadi abu-abu. Kepalanya terus berbicara, bicara, hingga penuh monolog, dan kita semua tahu bahwa film yang baik memiliki perbandingan narasi dan aksi yang selaras. Sayangnya, dia itu aku.
"Lagipula, jika kereta ini kita lewatkan, akan ada kereta lain." Sembari menunggu waktu selang karena kereta sebelumnya penuh, aku merogoh isi tasku sambil membayangkan roti. Karena mukjizat ada bagi mereka yang percaya, dan roti itu sungguh ada, sayangnya, di dunia paralel.
"Pulang-pulang, pulang-pulang...." Sambil bernyanyi, menyilangkan kaki, dan memasukkan kedua tangan ke dalam kantong celana. Dalam sejenak, sambil menghadap jalur kereta di depan yang kini dibasahi hujan.
Pikirku, kereta pasti telat karena hujan deras seperti ini. Aku lagi-lagi merogoh isi tasku dan berharap ada payung biru gelap, dan meski berharap, isi tasku tetap jujur dan tidak mengada-ngada. Aku berjalan dari peron menuju ke pintu stasiun utama.
"Ah sialnya, masa naik taksi sih."
Aku sembari menunggu, mengingat aku yang dahulu. Mengingat telah ribuan kali aku sengaja pergi kesana kemari, berharap didatangi seseorang dan diberikan pencerahan yang memutarbalikkan jalur hidup yang sebelumnya pernah ditakdirkan. Namun itu hanya angan-angan yang kuteruskan hingga kini. Aku terus berharap akan ada sesuatu yang mengubah, dan kala itu aku akan mendengarkannya utuh, dan hidupku tidak akan sama lagi.
Aku suka melihat garis tangan. Konon merupakan representasi seseorang secara karakter yang menuntun ke nasib. Aku terus menerus menunggu kala itu, di mana aku dilempar sepatu tepat mengenai kepala karena aku hampir melangkah ke jurang. Namun hari itu tidak pernah datang. Tidak akan pernah datang jika perspektif dari awal terus dipertahankan.
"Eh serius gak reda-reda nih ujannya."
Jika dari awal perspektifku benar tentang hidup, tidak perlu bertemu dengan pria berjanggut putih yang meramal nasib untuk memperingatkan ini itu. Cukup dengan melihat tembok hijau di sampingku ini, lalu sekejap mengartikan bahwa untuk menjadi ada, kuat, dan berguna, harus dibangun satu per satu, dan dimulai dari bawah, dan tembok itu tidak akan ada ketika tidak adanya niat.
Ya kini hujan kian deras, diri makin malas, mungkin ada baiknya aku membiarkan diri diguyur bersama hujan nan baik ini. Untuk menyadari bahwa tidak akan ada yang mengubah nasibmu, hingga dirimu mulai berganti pandangan, namun sayangnya untuk menyadari itu, dibutuhkan waktu bertahun-tahun. Dan ketika tahu dirimu sudah terlambat, bermain hujan tidak akan membunuhmu.
Hingga akhirnya dia bukan lagi aku.
"Lagipula, jika kereta ini kita lewatkan, akan ada kereta lain." Sembari menunggu waktu selang karena kereta sebelumnya penuh, aku merogoh isi tasku sambil membayangkan roti. Karena mukjizat ada bagi mereka yang percaya, dan roti itu sungguh ada, sayangnya, di dunia paralel.
"Pulang-pulang, pulang-pulang...." Sambil bernyanyi, menyilangkan kaki, dan memasukkan kedua tangan ke dalam kantong celana. Dalam sejenak, sambil menghadap jalur kereta di depan yang kini dibasahi hujan.
Pikirku, kereta pasti telat karena hujan deras seperti ini. Aku lagi-lagi merogoh isi tasku dan berharap ada payung biru gelap, dan meski berharap, isi tasku tetap jujur dan tidak mengada-ngada. Aku berjalan dari peron menuju ke pintu stasiun utama.
"Ah sialnya, masa naik taksi sih."
Aku sembari menunggu, mengingat aku yang dahulu. Mengingat telah ribuan kali aku sengaja pergi kesana kemari, berharap didatangi seseorang dan diberikan pencerahan yang memutarbalikkan jalur hidup yang sebelumnya pernah ditakdirkan. Namun itu hanya angan-angan yang kuteruskan hingga kini. Aku terus berharap akan ada sesuatu yang mengubah, dan kala itu aku akan mendengarkannya utuh, dan hidupku tidak akan sama lagi.
Aku suka melihat garis tangan. Konon merupakan representasi seseorang secara karakter yang menuntun ke nasib. Aku terus menerus menunggu kala itu, di mana aku dilempar sepatu tepat mengenai kepala karena aku hampir melangkah ke jurang. Namun hari itu tidak pernah datang. Tidak akan pernah datang jika perspektif dari awal terus dipertahankan.
"Eh serius gak reda-reda nih ujannya."
Jika dari awal perspektifku benar tentang hidup, tidak perlu bertemu dengan pria berjanggut putih yang meramal nasib untuk memperingatkan ini itu. Cukup dengan melihat tembok hijau di sampingku ini, lalu sekejap mengartikan bahwa untuk menjadi ada, kuat, dan berguna, harus dibangun satu per satu, dan dimulai dari bawah, dan tembok itu tidak akan ada ketika tidak adanya niat.
Ya kini hujan kian deras, diri makin malas, mungkin ada baiknya aku membiarkan diri diguyur bersama hujan nan baik ini. Untuk menyadari bahwa tidak akan ada yang mengubah nasibmu, hingga dirimu mulai berganti pandangan, namun sayangnya untuk menyadari itu, dibutuhkan waktu bertahun-tahun. Dan ketika tahu dirimu sudah terlambat, bermain hujan tidak akan membunuhmu.
Hingga akhirnya dia bukan lagi aku.
No comments:
Post a Comment