Akan selalu ada malam di mana kita tidak bisa tidur, meskipun bisa dibilang rutinitas kita adalah tipe yang kurang tidur. Entah apa, tiba-tiba khawatir menjalar pelan dari ujung kaki ke ujung jemari. Seolah pikiran kita berdoa secara tidak sadar untuk tidak dibangunkan di kemudian hari, mati pikirku, amin. Lalu esok saat terbangun, berkah kita diambil satu persatu. Doa yang tadinya dilantunkan tiap malam, diganti dengan ekspresi pucat pasi setiap hendak tidur. Dan kita tidak pernah lebih mati dari ini.
Lalu tanpa disangka sudah delapan tahun aku hidup menatap lantai setiap berjalan. Sesekali aku ingin merasakan sepoi angin ketika berjalan sendirian, tanpa mengingat, tanpa terkait, hanya aku dan tumpuan aku berdiri. Aku ingin diam, dan ingin dunia diam.
Jika aku mengakui, mungkinkah aku bisa mengakhiri perjalanan ini. Bolehkah aku terus berharap tanyaku disambut. Bolehkah aku meringkuk dalam selimut seperti aku kecil di kursi belakang mobil, dan setiap aku membuka mata entah aku berada di rumah ataupun tempat baru.
Mungkin selama ini aku terus menghidupi dan memberi makan rasa khawatirku. Sehingga aku rela melakukan semuanya. Mungkin aku terus bersandar pada kesendirian hingga aku nyaman dengan kesepian, hingga yang semu menjadi nyata untukku, dan aku mulai membeku. Sehingga tanggal dua puluh tiga ini tidak jauh berbeda dari yang kebanyakan, penuh sesal.
Jika saja aku boleh segera pulang, menjalankan doa-doa yang lalu, mungkin akan menjadi baik, menjadi pria murung yang tidak akan pernah sedih karena secara konstan berada di bawah. Semoga kamu yang nyata tidak menjadi fana di kemudian.
Karena dunia boleh berdiam sejenak sekarang. Aku mengizinkan hujan dan badai untuk memelukku sekarang. Karena dari dulu aku berasal, dan aku akan segera pulang.
No comments:
Post a Comment