Saturday, September 22, 2012

Wahana

Cahaya matahari menyusup dari sela sela dedaunan, aku yang sudah berusaha bertahan dengan kesendirian terpaksa berbaring di sampingmu, di atas rumput hijau, ditemani suara keramaian. Seperti bianglala, dengan segala naik turunnya, dengan segala pengetahuan bahwa ini akan sebegitu sementaranya, dan sekedar pemandangan yang berubah-ubah.

Sudah tiga hari sejak itu, aku kembali ke rutinitas, dengan roti, susu kotak, dan keramaian yang tidak pernah membuatku nyaman.

"Pesawatnya kecil ya? Memang sudah hukumnya seperti itu ya? Ketika benda semakin jauh, mereka menjadi kecil. Seolah tidak ada, padahal mereka hanya jauh." Aku berbicara dengan meja marmer sambil meletakkan pipi di atasnya agar merasakan suhu rendah batu marmer.

"Kak, kenapa deh kak?" Seorang wanita menyandarkan pipinya di atas meja yang sama dan berhadap-hadapan denganku.

"Iya? Eh, oh iya, apanya?" Aku sebegitu tidak antusiasnya, aku lupa bagaimana cara merespon wanita yang berparas di atas rata rata.

Seperti biasa, ratusan wanita berlalu dari hilir ke hulu menyapa, meluangkan waktu untuk melengkungkan senyumnya. Sementara hatiku tidak pernah tergerak, tidak sejak hari itu. Mungkin agak berlebihan, mungkin agak melankolis, namun apa daya, rasa terus memimpin akhir-akhir ini.

Aku masih berada di depan wanita itu, sama sama bertatap hening, yang satu dengan tatap penuh keingintahuan, satu lagi dengan tatap menyerah. Namun aku runtuh, aku menjadi tersenyum bingung menatapnya.

"Senyum lo nular tau gak." Aku tersenyum menghela nafas.

Dan ia pergi.

Ia terus menarikku dari duniaku sendiri, membawaku pergi ke dalam dunianya yang benderang. Namun ia pergi.

Ia yang kumaksud bukan wanita yang berada di depanku. Wanita di depanku hanya sekedar imaji tentangnya, jika saja ia tak punya masa lalu, pasti dia akan datang seperti itu.

Realita, delusi, atau ilusi. Aku tidak tahu bedanya lagi, aku ingin kembali waras, keluar dari segala permainan ini.

No comments:

Post a Comment