Thursday, August 16, 2012

Beberapa Kilometer

"Gua gak mau jadi sukses ah, mainstream banget."
"Seriusan lo? Lo pengen jadi yang miskin-miskin keren gitu ya?"
"Iya, yang kayak miskin baik, nolongin orang, abis itu ilang, biar dikira malaikat gitu men."
"Anjrit, gua juga mau ah."

Pembicaraan pemuda yang baru selesai berolahraga, terdengar nyaring di lampu yang redup. Sekitar enam tahun yang lalu.

Oh definisi, suatu kata yang paling disembah di muka bumi. Banyak dari mereka yang rela mati di dunia ini agar memiliki sebutan itu, sekedar agar memiliki arti. Ukuran kita, dibanding dengan semesta ini, apakah eksistensi kita benar benar memiliki definisi?

Suara gitar ambigu mulai terdengar dari kejauhan, hujan mulai menetes beriringan. Gelap, kata-kata itu terngiang di pikirannya yang akhir-akhir ini ramai. Ia terduduk di warung sambil mencoba menyalakan puntung rokoknya yang sudah bengkok karena tersimpan di kantong. Arti ya, pikirannya mulai merasuk lagi. Dari kejauhan, dari kejauhan, oh jarak.

"Mas, lagi libur kuliahnya?"
"Ah itu, iya, kayaknya gitu."
"Lah kok kayaknya mas?"
"Iya semacam." Matanya sayu, menunjukkan ketidakantusiasannya terhadap pembicaraan dengan orang yang tidak dikenal.

"Gak pingin meninggal apa mas sekali sekali?" Kali ini pria dengan rokoknya bertanya ke penjaga warung.

"Yah mas, hidup itu anugerah kok mau dibuang sia sia." sambil mengecilkan suara televisi di dalam warungnya.

"Kayak mainan gak sih, keberadaan kita, ketimbang anugerah. Hidup diisi sama kebingungan, khawatir, kadang di rumah gak kayak di rumah, hidup tapi gak kayak hidup." Karena sadar asik sendiri dengan pikirannya, ia berhenti mengungkapkan isi pikirannya.

"Mas, mandi enak gak?"
"Hah? Maksud mas apa nih?"
"Udah jawab dulu aja, mandi enak gak?"
"Iya agak sih, seger gitu."
"Rasain mas, jangan dipikirin."

Cecak dan kecoa bergantian melewati depan kaki yang diselimuti sendal jepit berwarna biru milik sang pemuda itu, ia bahkan tidak antusias untuk membunuh serangga jahanam yang tidak layak diciptakan di ekosistem dunia ini. Dan dengan kuasa Tuhan, Ia ciptakan yang mampu terbang, jenius. Namun kini ia mengerenyitkan dahinya, matanya tertahan dengan pikirannya, namun air mata mulai menggenang di matanya.

Selama ini kenapa, selama ini kenapa dipertanyakan, kalau terus begini, bisa keburu mati sebelum benar benar hidup. Pria itu malah terus tenggelam di dalam pikirannya. Otak, suatu organ tubuh yang mampu membawa manusia terbang beberapa kilometer di atas permukaan laut, dan hanyut lebih dalam ke pusat bumi. Otak, bukan organ kesukaan beberapa orang di dunia ini.

"Mas, agamanya apa mas?"
"Katolik mas, ya tapi gitu, kalo ke gereja ngantuk aja bawaannya."

Beberapa orang menyimpulkan bahwa agama, adalah suatu kebutuhan mendasar dari tiap manusia, kepemilikan atas keyakinan diyakini sebagai suatu kewajiban untuk tiap manusia. Nyatanya, di era kini, karena kemampuan berpikir manusia yang lebih independen, ketika suatu manusia diberikan informasi stimulan yang memacu mereka untuk berpikir. Sayangnya, agama, suatu hal yang dianggap fana namun bisa menjadi suatu pegangan ketika guncangan cobaan terjadi, kini mulai ditinggalkan.

"Ya, Tuhan, yang nyiptain itik baris, ayam enak rasanya, gula itu manis." Penjaga warung sambil menyeruput kopinya yang dituang ke piring kecil.

"Iya, yang nyiptain penyakit, perang, dan kesemrawutan ini kan?" Dengan nada menggebu-gebu, terdengar sok kritis yang malah condong ke apatis, pria ini mencoba menyela.

"Ya, ya, ya....  Mas, pernah main game gak?"
"Hah? Apalagi nih?"
"Iya, kemaren saya maen di rental, saya nyobain game apa tuh, lupa namanya."
"Ya pernah lah, kenapa sih?"
"Iya, misinya harus ada kan ya? Dikasih masalah kan ya?"

Kali ini si pemuda diam. Ia tahu kemana pembicaraan ini akan berlanjut, ia mengangguk sambil menekuk bibirnya, rokoknya pun sudah habis terbakar. Kalau dunia ini sempurna, mungkin malah akan lebih banyak yang bunuh diri karena mereka akan semakin tidak tahu apa yang harus dilakukan, karena tidak ada makanan kita harus bekerja, karena ada hewan buas kita harus bersiap-siap. Walaupun terdengar seperti main-main, keinginan untuk bertahan hidup lebih membuat manusia hidup, ketimbang rasa nyaman itu sendiri.

"Kalo surga mas, surga?" Pemuda ini menyadari ada kecacatan dari ide yang ingin disampaikan si penjaga warung.

"Hukum sebab akibat kan adanya di dunia doang mas, itu juga yang nyiptain Tuhan, di sana mah beda."

Seolah ia bisa membaca pikiran, jika ide terbaik dari kehidupan adalah kesementaraan yang menyenangkan, bagaimana bisa surga yang abadi menyediakan kebahagiaan. Dan jawabannya, perbedaan sistem yang fundamental, tidak perlu ada lagi sebab, dunia yang berbeda, sukar dijelaskan.

Pada akhirnya suara gitar ambigu itu mendatangi, semakin kencang, terdengar benderang dan lembut. Seolah rerumputan menyediakan suatu kondisi akustik yang memungkinkan untuk suara seindah itu. Sang pemuda beranjak dari duduknya dan berjalan menjauhi warung tersebut.

Pria berkemeja lusuh dan celana pendek menghampiri si pemuda, suara gitar itu tiba tiba menghilang.

"Oh, dijagain dari tadi mas warungnya? Aduh maaf ngerepotin."
"Hah? Apaan sih?"

Dan penjaga warung tadi sudah tidak ada di tempat. Meskipun kemungkinan ia untuk bersembunyi di selokan tidak bisa dipungkiri, namun, untuk apa segitunya. Dan malam semakin gelap dan pekat, semenjak hari itu, si pemuda mulai menghidupi hidupnya jauh lebih ringan bagai dandelion yang meliuk sesuai arah angin.

No comments:

Post a Comment