Dahulu kala, tinggal seorang wanita berparas malaikat, ia tinggal di dalam suatu kamar kecil di lantai 14, tubuhnya mungil, telapak tangannya pucat, rambutnya tergerai panjang, jidatnya terlihat, dan ada tahi lalat kecil di bawah mata kirinya. Ia dijuluki nona nuklir.
Nomor kamarnya 1422, setelah pintunya terbuka, akan terlihat tirai yang dibuat dengan potongan sedotan berwarna warni, dan kamar kosong, dengan kertas koran yang terkumpul di suatu tempat, konon ia beristirahat di atasnya bagai kucing.
Ia tidak pernah berbicara dengan orang di sekitarnya, kecuali untuk membeli kebutuhan hidupnya sehari hari, ia selalu mempersiapkan kardusnya yang lusuh untuk membawa barangnya, dan menolak untuk diberikan plastik.
"Permisi, dari bagian administrasi...." Pria ini bernama Sekun, ayahnya menamainya begitu agar menggambarkan urutan dari keluarga, kakak tertuanya bernama Primu, ya Sekun merupakan anak kedua dari dua bersaudara.
Si nona nuklir ini bergegas dari tidurnya, menarik tuas pintunya, menyambut pria ini dengan senyum tanpa kata. Gaun putihnya tergerai lembut, jemari kakinya menahan tubuhnya dengan rapuh.
Mulutnya terbuka lebar, seolah ia mengingat sesuatu. Ia bergegas masuk kembali dan mengaduk ngaduk kardus lusuhnya, dengan cepat ia kembali. Ia menyerahkan suatu benda dengan tersenyum.
Sekun yang baru pertama kalinya meminta tagihan bulanan untuk kamar, terdiam sambil tersipu sipu akan kecantikan nona nuklir. Tanpa sadar ia kini menggenggam sendok nasi pemberian nona nuklir. Sekun menggeleng gelengkan kepalanya sambil tersenyum heran, ia berpikir kali ini ia akan menggunakan uangnya sendiri untuk membiayai kamar tersebut.
"Hari ini dikasih apa Kun?" Salah satu penanggung jawab gedung bertanya.
"Oh, bapak udah tau ya? Iya, hari ini dikasih sendok nasi pak" Sekun menggaruk garuk kepalanya dengan sendok nasi tersebut.
"Hati hati ya Kun sama dia, dia katanya dulu pasien uji coba untuk jadi manusia pertama yang hidup mengandalkan energi fusi nuklir. Ia sudah hidup ratusan tahun, namun karena uji cobanya gagal, ya gitu, sekarang dia di sini, tanpa arah."
"Ah seriusan pak? Ratusan tahun? Masih muda gitu, cantik lagi."
"Kamu jangan kebiasaan menilai orang dari penampilan, kasihan, bahkan orang itu tidak mau dinilai dari penampilannya."
"Ya pak, kalau ketemu orang masa saya langsung liat sikapnya, gimana caranya pak?"
"Biasain kalo ketemu orang tuh, rasakan hatinya."
Karena terdengar dalam Sekun terdiam dan meragu untuk melanjutkan pembicaraan, saking dalamnya ia memasukkan tangannya ke saku celananya sambil memandang sudut ruangan.
Esok harinya nona nuklir terlihat sedang membawa bawaannya di tangga, banyak kucing yang mengikutinya tanpa bersuara. Sekun yang sedang membakar puntung rokoknya langsung merubah posisi duduknya yang terlihat tidak pantas.
Langkahnya ringkih, seolah ia akan jatuh di setiap langkahnya, seperti balerina yang jinjit dengan ujung jarinya. Hingga akhirnya ia bertatap muka dengan Sekun.
"Permisi ya, maaf ya."
Sekun hanya mengangguk tanpa pesan, tanpa ekspresi senyum yang seharusnya ia haturkan.
Dalam pikiran Sekun. Apa yang hendak wanita itu lakukan, sudah ratusan tahun namun tetap bertahan hidup sampai sekarang, gak pingin meninggal aja apa ya.
Tanpa ambil pusing, Sekun berdiri dan berjalan mengikutinya sambil menyapanya.
"Nona! Benar itu katanya umurnya udah ratusan tahun?"
"Iya? Oh, iya, maaf ya."
"Jadi bener seperti itu? Sudah tua sekali nih si nona?"
"Iya, tapi umur itu kan tidak jelas maknanya."
Nona nuklir membuang wajahnya sambil kembali menyusun langkahnya yang ringkih, gerakan gerakan penuh tanda tanya. Sementara tanpa sadar Sekun memasukkan puntung rokoknya ke kantong, dan celana bahan yang ia pakai terbakar hingga bolong.
Karena rasa penasaran akan pola hidup si nona nuklir, Sekun mengambil kotak dvd player yang berada di kamar administrasi, beserta kaset kaset film yang ia anggap akan menyenangkan untuk ditonton. Dalam derap langkahnya Sekun terus mempertanyakan, untuk apa aku melakukan ini semua, sambil ia meniupkan udara dari mulutnya.
"Administrasi, seperti biasa, service dari apartemen."
Mengetuk dengan jidatnya, Sekun benar benar tidak tahu apa yang sedang ia perbuat. Nona nuklir membuka pintu sambil mengenakan topi dari kertas koran origami yang ia buat. Mulutnya terbuka menganga, Sekun lupa akan tujuan awalnya, ia berusaha mengingat kembali apa yang ia ingin sampaikan.
"Bayaran, tunggu... bukan. Ini ada yang harus dilengkapi."
"Iya pak Sekun?"
"Tau nama saya?"
Nona nuklir menunjuk nametag di saku kiri Sekun.
"Oh, ah iya, ini dapet dvd player dari ruangan saya, udah gak kepake. Ini ada beberapa kaset juga untuk disetel."
"Ah! Makasih ya!" nona nuklir tersenyum sambil menepukkan kedua tangannya.
Nampaknya Sekun sedang meleleh. Selagi itu, Sekun baru sadar bahwa nona nuklir tidak punya apapun selain koran dan tirai sedotan. Ia tidak punya monitor untuk melihat gambarnya.
Untuk apa dia senang, pikir Sekun.
Tak lama ia memindahkan, ia mengambil proyektor di lantai bawah.
Sejak hari itu, nona nuklir melebur memiliki hiburan harian untuk menonton film klasik perancis, jerman, dan jepang. Sekun jatuh cinta padanya, dan cerita ini harus segera berakhir tanpa akhir yang jelas. C'est la vie.
No comments:
Post a Comment