"Apa arti keberadaan jika tunduk dalam ketakutan" ujar seorang pria di ujung ruangan sambil menyalakan puntung rokoknya dengan bangga.
"Jika kau ingin menyapu, tak usah nasehati aku, sudah syukur kau tidak menjadi lebih buruk dari sampah" aku berceloteh sambil menampar jendela di tempat aku duduk.
Ia bergegas lari dengan alis putih dan mata merahnya, aku berendam dalam rasa takut sekarang. Ia mengangkat sapunya tinggi tinggi sambil berjalan ke arahku.
"Jangan lihat ke belakang nak, jangan pula kau lihat ke depan. Sedetik yang lalu kau merupakan orang yang paling sial, lupakan. Sedetik yang akan datang kau akan menjadi jutawan, jangan kau jual sedetikmu yang sekarang! Jangan pernah sekali kali kau jual...." Ia teriak dengan mengangkat sapunya tinggi tinggi.
Jika ada kata yang mampu meliput rasa yang kurasa, andai saja ada pikirku.
Aku meremas rambutku dengan lembut lambat laun aku mulai merasakan sakit di kepalaku karena beberapa rambutku tercabut dari akarnya. Aku meninggalkan kursi itu, kali ini untuk selamanya, dan aku berlari ke toilet di rumah sakit tersebut, mencoba melihat diriku di depan cermin.
"Aku ini apa, semacam lawakan kah?" Aku bertanya pada rabun di cermin, mataku merah, sembab, badanku gemetar ketakutan.
Lalu aku keluar dari ruangan tersebut, aku keluar dari bilik penuh tangis itu, aku menyusun kalimat di kepalaku untuk meyakinkan beberapa hari ke depan sebelum operasi pertama dan mungkin yang terakhir.
"Ini sekedar"
"Malah mungkin ada lebih di balik sana"
Hatiku bergetar menjerit ingin pulang, namun entah kemana.
No comments:
Post a Comment