Di sudut jendela mesjid, hujan membasuh rerumputan.
"Zaman itu disebut dengan zaman kegelapan, di mana bukan hal yang aneh ketika orang menyembah berhala, bermain perempuan, membunuh anak perempuan, memperlakukan para budak seenaknya...." sambil melamun, suara ceramah terdengar mengalun pelan, suatu ceramah yang sopan dan tidak menyentil siapapun, ya karena tidak merasa disentil, mataku jadi terkantuk kantuk.
Namun kalau soal berhala, dari kecil nampaknya keluargaku sudah menyembahnya, bahkan diajarkan untuk menyembahnya.
Mereka mengajariku untuk menyembah mimpiku, karena konon mimpi bisa memberikan kebahagiaan kepada mereka yang benar benar yakin akan keberadaannya. Mereka mengajariku untuk menyembah hasil, apapun yang kulakukan sekarang, tidak akan berguna jika tidak punya hasil di masa yang akan datang, semua harus diorientasikan dengan hasil.
Dan dari kecil aku selalu menolak untuk hidup di dunia seperti itu, aku hidup sedikit lebih sulit, dan karena itu, kini aku merasa aku sedikit lebih hidup, lebih menghidupi hidupku ketimbang mereka yang sekedar bertahan agar tidak punah, agar mereka tetap bisa terdengar memiliki apa yang orang lain miliki.
Kini semua orang hidup dalam pencitraan yang fana dan sementara.
Jika saja aku diberi kesempatan untuk memberitahu apa yang seharusnya diperbaiki di suatu negri yang sudah tumpang tindih ini, mungkin harus dimulai dengan moral, dan diri sendiri. Mungkin sudah saatnya kita keluar dari berhala ini, entah mimpi berbau kapitalis, hingga mimpi memperbaiki dunia agar memiliki ekonomi yang merata, jika kita terlalu hanyut di dalamnya, kita sama saja dengan menyembah berhala.
Karena ketika kita tidak terikat, kita akan melihat apa yang seharusnya terlihat.
No comments:
Post a Comment